Sharing Science

Ilmu Pengetahuan Harus di Sharing, Karena Ilmu Sangat Penting Untuk Diketahui oleh Orang Banyak

Sabtu, 27 Februari 2010

KONSEP RASIONALITAS MEMPENGARUHI TINDAKAN SOSIAL
( MENURUT MAX WEBER)
A.Latar Belakang.
Max Weber merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam perkembangan aliran Sosiologi hukum (sosiologi of law). Ia seorang Protestan berkebangsaan jerman yang lahir di Upperclass, dan besar dalam lingkungan keluarga politis dan menjalankan studi bidang hukum. Max Webber sendiri sebenarnya mempunyai latar belakang bidang hukum ekonomi, sejarah filosofi, dan teleologi. Salah satu Karyanya yang sangat terkenal, adalah Economic and society (1913) dan sociologi of Religion (1920).
Sosiologi hukum merupakan cabang dari ilmu sosiologi, jadi bukan cabang dari ilmu hukum. Di dalam ilmu hukum juga ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum yang disebut sebagai sociological jurisprudence dan tidak disebut sosiologi hukum.
Konsep rasionalitas yang menjadi titik perhatian utama Max Weber, sebenarnya hampir sama dengan konsep solidaritas dari Durkhaim, Konplik Kelas oleh marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi COMTE, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Webber elihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Hal ini tercermin pada tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial, juga terungkap dalam evolusi music barat. Meskipun musik sering disebut sebagai bahasa emosi, Webber memperlihatkan bahwa music juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan barat modern. Disamping itu, pengaruh agama juga dapat memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dimana ide-ide agama berperan dalam meningkatkan perubahan sosial. Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga material. Kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusia secara independen, kendati bertentangan dengan kepentingan materilnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kemudian muncul pertanyaan sebagai permasalahan sebagai berikut:
1.Bagaimanakah Konsep Rasionalitas mempengaruhi terbentuknya tindakan sosial menurut Mark Webber?
2.Bagaimanakan analisa Mark Webber mengenai hubungan antara orientasi agama dengan pola motivasi dan rasionalitas ?

PEMBAHASAN
A.Konsep Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Berbeda dengan Durkheim, Weber memandang bahwa sosiologi merupakan Ilmu yang mempelajari fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu dan bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial yang lainnya. Jika Durkheim melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang bebas, maka sebaliknya Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Webber menekankan individu dan arti subyektif dalam tindakan yang sedang dilaksanakan oleh manusia.
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada vertehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.
Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.
Rasionalitas dan Peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Misalnya apabila seseorang memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti perilaku itu sebagai yang rasional, karena sesuai dengan kretaria rasionalitas obyektif yang kita terima. Namun tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Webber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tife tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikannya adalah tindakan rasional dan yang non rasional.
Dikenal beberapa tipe tindakan sosial, antara lain :
1)tindakan Rasionalitas instrumental (zweckrationalitat), tingkat rasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.
2)Rasionalitas yang berorientasi nilai, hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih.
3)Tindakan tradisional, merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakannya kalau diminta, hanya dengan mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.satu-satunya pembenaran yang perlu adalah bahwa “inilah cara yang sudah dilaksnaakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnaya rasionalitas instrumental.
4)Tindakan Afektif, yang ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan yang meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi atau kriteria rasionalitas lainnya.
Struktur sosial dalam perspektif Webber didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu. Pengaturan orang-orang secara hirarki dalam suatu stratifikasi sosial merupakan suatu segi yang sangat mendasar. Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas. Bagi dia kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Orang juga digolongkan dalam lapisan-lapisan berdasarkan kehormatan atau prestise seperti yang dinyatakan dalam hidup bersama.
Menurut weber, perkembangan hukum ataupun perkembangan masyarakat selalu bergerak dari yang irasional menuju ke yang rasional dan kemudian transisi dari substantively rasional law ke formally rasional law. Sosiologi hukum, menurut Weber, tidak berurusan dengan karakteristik internal dari suatu ketertiban hukum, tetapi sosiologi hukum berkepentingan dengan analisis tentang hubungan antara tindakan sosial dan struktur sosial lainnya. Dihubungkan dengan konsepnya tentang “dominasi hukum”, maka hukum bukan hanya merupakan bentuk khusus dari ketertiban politik, melainkan juga merupakan suatu suatu ketertiban sentral yang bersifat mengatur secara independen. Disamping itu, weber mengakui adanya dua kategori hukum, yaitu:
1. Kategori hukum yang dibuat (law making); dan
2. Hukum yang ditemukan (law finding).
Meskipun tulisan-tulisan Weber secara metodologi menekankan pentingnya arti-arti subyektif dan pola-pola motivasional, karya substantifnya meliputi suatu analisa struktural dan fungsional yang luas jangkauannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam modelnya tentang stratifikasi yang memiliki tiga dimensi, studinya mengenai dominasi birokratif dan pengaruhnya dalam masyarakat modern, serta ramalannya yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari pengaruh etika Protestan.
Dalam hubungan dengan dominasi hukum, Max Weber membagi tahap perkembangannya ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1.Bentuk tradisional
Weber membagi bentuk ini kedalam tiga otoritas, yaitu gorontokrasi, patriarkalisme dan patrimonialisme. Pengawasan dalam gerontokrasi berada pada tangan orang-orang tua dalam suatu kelompok, pengawasan dalam patriarkalisme berada dalam tangan suatu keasatuan kekerabatan (rumah tangga) yang dipegang oleh seorang individu tertentu yang memiliki otoritas warisan. Dalam kedua sistem ini tidak ada staf administratif seperti lazimnya kita kenal, dan bawahannya merupakan anggota kelompok itu yang atas namanya otoritas dilaksanakan. Sebaliknya, dalam suatu sistem otoritas patrimonial terdapat suatu staf administratif. Tidak seperti staf administrasi dalam suatu birokrasi, staf administrasi patrimonial terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpinnya.
2.Bentuk otoritas karismatik
otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi. Otoritas ini laindari bentuk otoritas yang biasa. Istilah “karisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Dalam penggunaan weber, hal ini meliputi karakteristik-karekteristik pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya. Asal-usul istilah ini sangat erat kaitannya dengan teologi, yang menunjuk pada bakat rahmat yang secara bebas diberikan Allah kepada orang-orang tertentu. Juga istilah ini digunakan Weber dalam menggambarkan pemimpin-pemimpin agama yang berkarismatik di mana dasar kepemimpin mereka adalah kepercayaan bahwa mereka memiliki sesuatu hubungan khusus dengan yang ilahi, atau malah mewujudkan karakteristik-karakteristik ilahi sendiri.
Tidak seperti sistem otoritas tradisional dan lembaga-rasional, kepemimpinan karakteristik tidak dioreantasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Kalau otoritas tradisional diorientasikan untuk pertahanan status-quo, kepemimpinan karismatik biasanya menantang status-quo. Pemimpin karismatik mengemukakan pesan dengan rumusan tegas, “memang itulah yang tertulis, aku mengatakan kepadamu....” pesan itu bertentangan dengan tradisi dan merupakan dobrakan menuju ke suatu bentuk keteraturan sosial atau keteraturan modal baru dan yang lebih baik.
3.Bentuk hukum rasional (Organisasi birokratis)
otoritas legal rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda sikap yang umumnya terdapat di masa kini yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efesien, boros dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar (extended family) dan hubungan pribadi, weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Seperti dilihatnya langsung dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasi ketika sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prusia, dan ketika dia melihat perkembangan sistem administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya, dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besar pengaruh birokrasi. Bentuk organisasi sosial birokrasi, yang mencerminkan suatu tingkat rasionalitas instrumental yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser bentuk-bentuk tradisional, hanya karena efisiensinya yang besar itu.
Sifat-sifat ideal birokrasi menurut Weber adalah, sebagai berikut: (1) suatu pengaturan fungsi resmi yang terus menerus diatur menurut peraturan. (2) suatu bidang keahlian tertentu, yang meliputi; (a) bidang kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditandai sebagai bagian dari pembagaian pekerjaan yang sistematis, (b) ketetapan menganai otoritas yang perlu dimiliki seseorang yang menduduki suatu jabatan untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini, (c) bahwa alat paksaan yang perlu secara jelas dibatasi serta penggunaannya tunduk pada kondisi-kondisi terbatas itu... (3) Organisasi kepegawaian mengikuti prinsip hirarki, artinya pegawai rendahan berada di bawah pengawasan dan mendapat supervisi dari seseorang yang lebih tinggi.... (4) peraturan-peratuan yang mengatur perilaku seorang pagawai dapat merupakan peraturan atau norma yang sifat teknis. Dalam kedua hal itu, kalau penerapannya seluruhnya bersifat rasional, maka (latihan) spesialisasi diharuskan... (5) dalam tipe rasional hal itu merupakan masalah prinsip bahwa para anggota staf administratif harus terpisah dari pemilikan alat-alat produksi atau administrasi... (6) dalam hal rasional itu, juga biasanya terjadi bahwa sama sekali tidak ada pemberian posisi kepegawaiannya oleh seseornag yang sedang menduduki suatu jabatan... (7) tindakan-tindakan, keputusan-keputusan, dan peraturan-peraturan administratif dirumuskan dan dicatat secara tertulis.....
4.Tipe-tipe Otoritas Campuran
Karena ketiga pola hubungan otoritas yang berbeda itu adalah tipe-tipe ideal, kita tidak boleh mengharapkan salah satu di antaranya akan nampak dalam bentuknya yang murni seacara empirik. Sebaliknya, dalam banyak hal, hubungan otoritas dalam kehidupan yang riil cenderung mencerminkan tingkat-tingakat yang berbeda-beda dari ketiga tipe itu.
Sehubungan dengan ini, Etzioni mengembangkan suatu model dinamika organisasi yang mendiskusikan secara eksplisit manispestasi pengaruh karismatik yang terus menerus dalam organisasi birokratis. Dia berpendapat bahwa salah satu tantangan organisasi birokratis adalah untuk memanfaatkan pengaruh karismatik yang ada pada pegawai dalam organisasi itu dari pada membuanya kacau balau.
Selain pengaruh kharismatik, organisasi birokratis banyak mendapat menggunakan dukungan yang terdapat dalam tradisi. Dari tingkat yang paling atas sampai ke yang paling bawah, keputusan dibuat dan usaha untuk mempengaruhi itu dibenarkan berdasarkan hal-hal yang sudah terjadi. Kuatnya kebiasaan tradisional dapat kita lihat dalam kalimat yang sering diucapkan “kami selalu berbuat begitu”. Para ahli teori masa kini mengenai organisasi mengemukakan bahwa mencari jalan keluar untuk masalah-masalah baru sering mulai mengujinya dengan apa yang terjadi di masa lampau dalam organisasi itu untuk melihat kalau-kalau ada suatu preseden yang dapat ditemui dan dapergunakan untuk mengatasi krisis masa kini. Dalam melihat saling ketergantungan antara ketiga pola otoritas ini, penggunaan konsep-konsep ini dalam analisa data empirik harus meliputi usaha menentukan pola yang dominan dan juga cara dimana ketiga tipe ini saling berhubungan dan tingkat di mana ketiga saling mendukung atau saling merusakkan. Tekanan Weber sendiri dalam menggunakan konsep-konsep tipe ideal ini adalah untuk menunjukkan betapa otoritas legal-rasional itu berkembang dalam masyarakat modern, masyarakat industri kota dengan mengorbankan otoritas tradisional.
Selanjutnya, menurut Max Weber, dominasi hukum atau otoritas hukum dijalankan atas prinsip-prinsip sebaga berikut:
1.Norma-norma umum dibentuk atas dasar imposition atau perjanjian.
2.Hukum merupakan sistem yang konsisten, yang secara sadar dibuat dari aturan-aturan yang abstrak.
3.Superior harus tunduk pada aturan. Segala sikap tindakannya harus sesuai dengan ketertiban yang bersifat impersonal.
4.Keputusan hukum harus langsung pada rulr of law.
5.Kepatuhan pada pemimpin bukanlah kepada pemimpin itu sendiri, melainkan pada ketertiban yang bersifat impersional. Sedangkan birokrasi hanyalah bentuk asli dari dominasi hukum.

B.ANALISIS MAX WEBER MENGENAI AGAMA, POLA MOTIVASI DAN RASIONALISASI

1.Weber dan Marx mengenai pengaruh agama
Menurut marx, perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan sejarah serta transisi dari suatu tipe ketipe struktur sosial lainnya. Perjuangan kelas mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomi objektif yang berlawanan dalam kelas-kelas yang berbeda, khususnya apabila kelas bawah itu sadar akan kepentingan ini melalui kesadaran kelas. Kepentingan-kepentingan ini ditentukan oleh kondisi-kondisi materil dimana para anggota dari kelas-kelas itu berada. Jadi dalam suatu yang stabil apabila kesadaran itu rendah tingkatannya, maka agama itu dilihat sebagai candu bagi manusia itu. Perubahnan revollusioner lalu menuntut supaya ilusi dan institusi agama itu dihancurka, demikian pandangan Marx.
Menurut Weber mengakui pentingnya kondis materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi kepercayaan, nilai dan prilaku manusia. Weber memperluas persefektif Marx mengenai srtatifikasi. Namun weber mengakui pengaruh ekonomi dan materi, serta menyangkal bahwa ide-ide, bahkan ide-ide agama dapat mempunyai penagruh yang independen sifatnya terhadap perilaku manusia. Webwer menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga materil. Kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusiasecara indevenden, kendati bertentangan dengan kepentingan materilnya.

2.Kepercayaan Protestan dan perkembangan Kapitalisme
Analisa Weber dalam bukunya The protestan Ethic and the Sprit of Capitalism, bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistemekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengrauh yang yang merangsang ini dapat dilihat sebagi suatu elective affinity ( konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang berrsifat mendukung secara timbla balik) antara tuntutab etis tertntu yang berasal dari kepercayaan Protestan dan pola-pola motivasi ekonomi yang perlu untuk pertumbuhan sistem kapitalisme.
Dalam melihat kontroversi yang muncul dari tesisnya ini, harus jelas bahwa tidak mengemukakan kapitalisme disebebkan oleh Protestantisme. konsep elective affinity jelas menghindarkan hubungan sebab akibat. Konsep ini berhubungan dengan kesesuaian logis dan konsistensi psikologis dimana keduannya saling mendukung. Baik Protestantisme maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup yang rasional dan sistematis. Etika protestantisme memberi tekanan pada pada usaha menghindari kemalsan atau kenikmatan semaunya, dan menekankan kerajinan dalam melaksanakan tugas dalam segi kehidupan, khususnya dalam pekerjaan dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Perkembnagan kapitalis modern menuntut untuk membantasi konsumsi supaya uang yang ada diinvestasikan kembali pada pertumbuhan modal, menuntut kesediaan untuk tunduk pada disiplin perencanaan yang sistematis untuk tujuan-tujuan dimasa mendatang, bekerja secara teraturdalam suatu pekerjaan dan sebagainya.
Lebih lanjut Weber mengakui bahwa pengaruh Protestantisme ini pada kapitalisme tidak harus tetap selamanya. Pandangan bahwa Protestantisme membantu merangsang munculnya kapitalisme pada tahap awalnya tidaklah berarti bahwa kapitalisme itu seterusnya membutuhkan legitimasi agama. Weber mengakui sesudah kapitalisme itu berdiri, dia lalu menjadi otonom dan berdikari, tanpa membutyhkan agama.

3.Etika Protestantisme sebagai protes terhadap Katolisisme
Ciri khas apa yang membedakan etika Protestan yang relevan dengan munculnyakapitalismedari etika katolik ? Bagi Weber, etika protestan memperlihtkan suatu orientasi agama yang bersifat asktik dalam dunia yang jauh lebih lengkap daripada agama besar apaun lainnya, termasuk Katolisisme. Asketisme dalam dunia menunjuk pada komitmen untuk menolak kesempatan (atau sangat membatasi diri ) untuk menuruti keinginan fisik atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik untuk mengejar suatu tujuan yang lebih tinggi atau yang bersifat spritual, tujuan spritual ini harus dicapai melalui suatu komitmen yang sistematis dan rajin dalam melaksanakan tugas di dunia ini.
Bersama dengan sistem sakramental ini, orientasi Katolik tradisonal jauh lebih bersifat luar dunia (other wordly) dari pada orientasi protestan. Artinya kepercayaan dan nilai yang terdapat dalam agama katolik menekankan perhatian individu pada kehidupan sesudah kematian , dan tujuan utama hidup manusia dilihat pada persiapan untuk hidup sesudah kematian itu. Meskipun Paus dan banyak pejabat tinggi Gereja sangat terlibat dalam urusan politik duniawi dan ekonomi, pengaruh dari ajaran mereka adalah merendahkan pentingnya kehidupan duniawi ini. Dalm kehidupan yang sangat singkat di dunia ini orang diharapkan tunduk pada tradis-tradisi yang sudah mapan dan menerima posisi yang ditentukan baginya dalam hidup ini.

4.Etika protestan dan proses sekularisasi
Etika protestan membawa sukses dalam bidang materi, godaan untuk menikmati hasil materi itu membantu hilangnya motivasi agama untuk mengikuti daya hidup askestis yang dituntut oleh protestantisme. Juga sama halnya pengaruh agama protestan yang positif terhadap ilmu pengetahuan diikuti oleh situasi dimana kepercayaan agama tradisonaldan penagnut protestan dirusakkan oleh pendekatan ilmiah dalam menjelaskan gejala alam. Mungkin yang paling penting adalah bahwa tekanan agama protestan pada kegiatan dalam dunia ini ikut menghsilkan suatu situasi dimana dunia ada duniawi dan dunia sesudah kematian itu pelan-pelan hilang dari kesaradaran.
Ide- ide weber mengenai pengaruh etika protestan tidak didasarkan pada analalisi sejarah yang sistematis. Tujuannya bukan untuk menelusuri perkembangan sejarah protesrtantisme. Sebaliknya dia bergerak kurang lebih di antara pelbagai cabang protestantisme di pelbagai periode dalam sejarah protestan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar