Sharing Science

Ilmu Pengetahuan Harus di Sharing, Karena Ilmu Sangat Penting Untuk Diketahui oleh Orang Banyak

Sabtu, 27 Februari 2010

KRITIK TERHADAP HUKUM ALAM
KAJIAN FILSAFAT HUKUM


BAB I. PENDAHULUAN
Menurut Friedman sejarah tentang hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya unutk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (kejadian yang mutlak) disamping sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan tersebut. Pengertian hikum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan keadaan politik.
Sepanjang sejarah dapat diketahui banyaknya peranan hukum ini dalam berbagai fungsi, seperti misalnya :
•Dipergunakannya hukum alam untuk mengubah hukum perdata Romawi yang lama menjadi suatu sistem hukum umum yang berlaku diseluruh dunia.
•Diperguanakan sebagai senjata dalam perebutan kekuasaan antara gereja dan abab pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak gereja maupun oleh pihak lawannya.
•Diperguanakan sebagai dasar hukum injternasional dan dasar kebebasan perseorangan terhadap pemerintah yang absolute.
•Diperguanakan oleh para hakim di Amerika serikat dalam menafsirkan konstitusi. Dengan asas-asas hukum alam, para hakim menentang uasaha Negara-negara bagian yang dengan menggunakan perundang-undangan hendak membatasi kebebasan perseorangan dalam soal-soal yang menyangkut ekonomi.
•Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang berkuasa atau sebaliknya untuk mengobarkan pemberontakan terhadap kekuasaaan yang yang ada.
•Juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala bentuk ideologi.

•Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terus-menerus memberikan ilham kepada kaum stoa, ilmu dan filsafat hukum romawi, pendeta-pendeta dan gereja-gereja abad pertengahan dan lain-lain.
•Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar kepada filsafat perorangan dalam konstitusi Amerika serikat dan undang-undang dasar modern lainnya.

Melihat sumbernya, hukum alam dapat berupa :
1.Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irrasional) dan
2.Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia.

Hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan dianut misalnya oleh kaum Scholastic abad pertengahan seperti pemikiran dari Thomas van Aquino, Gratianus (Decretum), John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, Johannes Huss dan lain-lain.
Dalam buku-bukunya yang sangat terkenal "Summa Theologica", dan "De Regimene Principum". Thomas Aquino membentangkan pemikiran hukum alamnya yang banyak mempengaruhi gereja dan bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga kini. Seperti halnya Aristoteles yang membagi hukum itu atas hukum alam dan hukum positif. Thomas pun membagi hukum itu bukan 2 (dua) melainkan 4 (empat) golongan hukum, yaitu :
1.Lex Aeterna, merupakan rasio tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
2.Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkjan waktu yang diterimanya.
3.Lex naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang merupakan jelmaan Lex Aeterna di dalam rasio manusia.
4.Lex positivis, hukum yang berlaku adalah merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaaan dunia.

Hukum positif ini terdiri atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti yang terdapat dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.

BAB II. RUMUSAN MASALAH

Apakah hukum alam masih relevan di zaman sekarang ini?

BAB III. PEMBAHASAN

Mengenai konsepsinya tentang hukum alam ini, Thomas Aquino membagi asas-asas hukum alam itu dalam 2 (dua) jenis, yaitu penciptaan prima dan penciptaan secundaria. penciptaan secundaria diturunkan dari penciptaan prima lebih lanjut. Thomas Aquino mengatakan bahwa penciptaan prima itu tiodak lain dari asas-asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak dalam arti tidak dapat diasingkan darinya. Karena sifatnya yang demikian, penciptaan prima itu tidak dapat berubah ditempat manapun dan dalam keadaan apa pun. Sebagai contoh, misalnya 10 (sepuluh) perintah Tuhan.
Berlainan dengan penciptaan prima, penciptaan secundaria yang merupakan asas yang diturunkan dari penciptaan prima tidak berlakumutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Dapat dikatakan bahwa penciptaan itu merupakan penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap penciptaan prima. Penafsiran manusia ini bermacam-macam, dapat baik atau buruk. Karena kadang-kadang ditafsirkan dengan tujuan untuk kepentingan sendiri, penciptaan secundaria ini tidak mengikat masyarakat umum, baru dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan kepada asas-asas ini kekuasasn mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.
Pendapatr penting lainya yang perlu diketengahkan adalah apa yang termuat didalam decretum gratinum yang merupakan suatu himpunan tertua hukum gereja hasil susunan seorang rahib Italia bernama Gratianus. Terhadap pengaruhnya didunia, himpunan ini dianggap orang menyamai Corpus luris Civilis Romawi. Antara lain dikatakan bahwa manusia itu dikuasai oleh 2 (dua) hukum, yakni hukum alam dan adat kebiasaan.hukum alam adalah sebagai mana terdapat didalam kitab suci dan injil. Kutipan ini menunjukan pentingnya hukum gereja sebagai dasar dari hukum alam sebagai mana yang banyak berpendapat demikian diabad pertengahan itu. Lebih lanjut, disebutkan dalam Dectrum tersebut bahwa hukum alam itu lahir bersamaan dengan terciptanya manuisia sebagai mahluk yang berakal. Hukum ala mini tidak dapat berubah sepanjang zaman. Terhadap hukum-hukum lainnya, hukum alam ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.
Penulis lain William Occam dari inggris mengemukakan tentang adanya hirarkis hukum sebagai berikut :
•Hukum universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.
•Apa yang disebutnya sebagai hukum yang mengikat masyarakat yang berasal dari alam.
•Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam, tetapi yang dapat diubah oleh penguasa.
Selanjutnya, William Occam mengatakan bahwa hukum itu adalah identik dengan kehendak mutlak tuhan. Seorang sarjana Spanyol, Fransisco Suarez, mengetengahkan pendapat yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Thomas Aquino, Menurut pendapatnya, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu ketentuan yang disebutnya sebagai suatu peraturan umum yang harus memuat unsure-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku disemua tempat dan disetip waktu. Berdasarkan akalnya, manusia dapat menerima adanyahukum alam tersebut dan dengan demikian manusia tadi dapat membedakan adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam dapat diterima oleh manusia itu hanya sebagian saja dan selebihnya adalah hasil dari akal manusia sendiri. Dengan demikin, kesemua hukum alam itu merupakan kehendak Tuhan dan akal manusia. Sifat hukum alam adalah tidak bias berubah-ubah. Manusia tidak bisa mengubah juga Paus maupun pembuat undang-undang. Namun, demikian Suarez, dalam penerapan hukum tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan. Disamping hukum alam, Suarez mengenal juga hukum yang lain, yaitu adat kebisaan dari rakyat. Bedanya dengan hukum alam, adapt kebisaan ini adalah hal yang berguna untuk pergaulan manusia sedang hukum alam berguna untuk kesusilaan. Sebagai contoh, Suarez mengemukakan tentang perbudakan dan hak milik partikelir sebagai adapt kebiasaan dan kemerdekaan serta berserikatnya harta benda sebagai hukum alam.tentang hukum positif, sependapat dengan Jean Bodin, rajalah yang berhak membuatnya. Semua peraturan buatan manusia harus disusun berdasarkan hukum alam.
Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius. Disamping itu, pendapat-pendapat dari Christian Thomasius, Immanuel Kant, Fichte, Hegel dan juga Rudolf Stammier adalah penting. Latar belakang tampilnya rasio manusia dalam pemikiran hukum alam ini dimulai dengan lahirnya suatu zaman yang kita kenal sebagai Renaissance. Zaman ini yang dikatakan oleh Jacob Burckhard dalam bukunya " Die Kultur der Renaissance in Italien" sebagai suatu zaman dimana manusia menemukan kembali kepribadiannya, telah menyebabkan adanya perubahan yang tajam dalam segala segi kehidupan manusia. Sifat universitalitas dimana ajaran gereja sebagai dasar satu-satunya dalam setiap gerak manusia berakhir dengan sendirinya sebagai akibat mulai menurunnya kepercayaan manusia pada waktu itu kepada pejabat-pejabat gereja yang dalam literatur Barat disebutkan sebagai lebih memetingkan keduniawian daripada tugasnya sebagai pejabat agama yang suci.
Masa Renaissance menghasilkan dunia baru yang mencetuskan dimulainya abad Individualisme yang terus berkembang dan bertumbuh dengan pesatnya hingga masa kini. Suatu masa yang oleh Beerling dikatakan : masa kemajuan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan kewajiban lama, subjek manusia pribadi menurut hak-haknya.
Lahirnya Renaissance ini sesungguhnya dimulai pada abad ke-12 dimana secara berangsur-angsur telah terjadi perubahan-perubahan dalam pandangan hidup manusia. Perhatin manusia khususnya terhadap penghidupan di dunia ini setapak demi setapak mulai mengisi jiwanya. Alam, kesenian, ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang memperoleh perhatian yang besar. Karenanya, kesemuanya berkembang dengan pesat. Dalam dinia filsafat hukum pandangan atau pemikiran para ahlinya tidak lagi didasarkan pada ketuhanan. Bahwa rasio Tuhan merupakan satu-satunya sumber pemikiran tidak lagi diterima umum.
Peranan rasio manusia tampil kedepan. Rasio manusia bukan lagi merupakan penjelmaan rasio Tuhan-rasio manusia terlepas dari ketertiban Tuhan. Rasio manusialah kini yang merupakan sumber satu-satunya dari hukum. Ajaran bahwa hukum alam adalah produk dari rasio manusia dan bukan berasal dari tuhan dikemukakan oleh Hugo de Groot (Grotius) yang hidup pada tahun 1583-1645. Pendasar dari hukum alam modern ini mewariskan buah pikirannya dalam dua bukunya yang termashur, yaitu "De Jure Belli ac Pacis" dan "Mare Liberum". pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kaum Stoa dan Scholastik. Namun demikian, corak hukum alamnya berbeda dengan hukum alam yang Thomistis maupun Neo Thomistis. Menurut pendapatnya, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia, yaitu merupakan pencetusan dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah laku manusia itu dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas kesusilaan alam tersebut. Disamping adanya hukum yang rasionalistik, Grotius pun menerima juga adanya hukum lain yang berdasarkan ketuhanan, jadi yang berasal dari tuhan seperti misalnya yang termuat didalam Kitab Suci. Berkenaan dengan pendapat ini, Apeldoorn antara lain berkata bahwa Grotius tidak konsekuen dengan pendapatnya. Dalam, "De Jure Belli ac Pacis". Grotius mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi, hukum alam pun secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.
Pendapat lain mengenai hukum alam yang rasionalistis, ini dating dari Samuel von Pufendorf (1632-1694). Dia mengarang sebuah buku yang berjudul "Jus Naturale et Gentium". pendapat-pendapatnya banyak dipengaruhi oleh Hugo de Groot. Seperti Hugo de Groot, Samuel pun berpendapat bahwa hukum alam itu merupakan hasil dari rasio manusia. Hukum internasional (lihat judul bukunya diatas) adalah bagian dari hukum ala mini. Yaitu bagian yang dapat ditangkap oleh akal manusia.
Filsafat hukum Kant boleh dikatakan merupakan teori tentang bagaimana seharusnya hukum itu. Filsafat hukumnya adalah filsafat hukum ahli filsafat bukan ahli hukum tentang hukum alam, Kant mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari Katagorische Imparetiv. Sifat hukum alamnya adalah rasionalistis dan juga idealistis. Disebut idealistis oleh karena ada kemungkinan terjadi suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan pleh Katagorische Imperativ. Jadilah ketentuan itu sebagai ketentuan yang tidak pernah dipenuhi jadi ketentuanyang ideal. Johann Gottileb Fichte (1762-1814) adalah penganut idealisme Kant.
Dalam bukunya yang terbit tahun 1796 berjudul "Grundlage des Naturrechts", Fichte mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia. Sama halnya dengan Thomasius maupun Kant, Fichte pun membedakan antara moral dan hukum. Hegel (1770-1831) adalah ahli piker ketiga yang dihasilkan Jerman yang memiliki pandangan-pandangan yang berpengaruh. Baik Kant, Fichte maupun Hegel mempunyai pokok penyelidikan yang sama, yaitu penyelidikan terhadap akal manusia. Pemikiran filsafat Hegel dianggap sebagai usaha yang paling luas dan mendalam yang pernah dijalankan orang dalam memberikan penjelasan tentang alam semesta. Hegel merasa tidak puas hanya menganalisis ilmu pengetahuan, logika dan sejarah ataupun hokum saja. Menurut Hegel, ide itu terdiri dari rasio dan roch. Ide berkembang dari yang sederhana sampai yang kompleks melalui proses dialektis.hegel menolak antimony antara ide dan pengalaman atau rasio dan kenyataan. Menurut pendapatnya apa yang rasional adalah nyata dan apa yang nyata adalah rasional. Setiap fase dalam perkembangan dunia ini merupakan fase dan rentetan dari fase sebelumnya. Dengan dialektisnya yang terkenal, Hegel menjelasskan perkembangan itu. Setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau sebaliknya mengandung kategori yang ketiga yaitu akan jadi. Jadi, ada tritunggal yang terdiri dari thesis-anthitesis-shintetys. Selanjutnya setiap sintetesys ini merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru. Alam semesta, demikian Hegel berkembang melalui proses yang logis dan setiap bagian dari proses ini berhubungan dengan lain secara logis. Dengan demikian, logika moral dan agama semuanya berhubungan satu dengan yang lain. Filsafat hukum pun termasuk dalam proses ini, kami tidak bemaksud menguraikan lebih lanjut karena sangat sukar untuk menjelaskannya. Kiranya patut dikemukakan dalam penulisan ini pendapat dari pengikut kant yang dikenal dengan nama Neo Kantian. Salah seorang diantaranya Rudolf Stammler dengan metode yang keritis dan transcendental seperti kant sampailah kepada suatu pemikiran hukum alam yang bersifat tidak abadi. Dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia itu berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam yang dihasilkan berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya hukum terletak dapat tidaknya hukum itu memenuhi manusia.
Pada zaman modern hukum alam kurang dianut oleh orang. Kalaupun ada, mereka lebih suka tidak tidak mengatakan sebagai hukum alam, tetapi disebutnya sebagai asas-asas hokum umum. Beberapa asas hukum yang terkenal, misalnya dating dari Duguit dengan solidarete socialnya. Grundnormya Hans Kelsen, social engineering dari Roscoe Poud, Kulturentwicklung dari Kohler serta Regle morale dari Ripert. Asas-asas hukum umum ini walaupun bukan hukum alam, namun memiliki daya berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

BAB IV. PENUTUP
KESIMPULAN
1.Hukum alam adalah hukum yang berasal dari Tuhan
2.Hukum alam itu bisa saja berasal dari Tuhan tapi melalui manusia.
3.Pada zaman modern, hukum alam ini kurang di anut orang, walaupun ada mereka lebih suka tidak mengatakan sebagai hukum alam TETAPI disebutnya sebagai asas-asas hukum umum.
4.Bagi kita bangsa Indonesia hukum alam itu berasal dari hukum Ilahiah seperti adanya Bank Syariah dan Bank Muamalah.


DAFTAR PUSTAKA

1.Prof DR H.LILIRA SYIDI, SH,S.Sos, LLM dan IRA THANIA RASYIDI,SH MH.--------dasar-dasar filsafat dan teori hukum.
2.MEUWISSEN.---------tentang pengembanan hokum, ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum.
3.H.ZAENAL ASIKIN, SH,SU.---------catatan kuliah magister hukum UNRAM.
KONSEP RASIONALITAS MEMPENGARUHI TINDAKAN SOSIAL
( MENURUT MAX WEBER)
A.Latar Belakang.
Max Weber merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam perkembangan aliran Sosiologi hukum (sosiologi of law). Ia seorang Protestan berkebangsaan jerman yang lahir di Upperclass, dan besar dalam lingkungan keluarga politis dan menjalankan studi bidang hukum. Max Webber sendiri sebenarnya mempunyai latar belakang bidang hukum ekonomi, sejarah filosofi, dan teleologi. Salah satu Karyanya yang sangat terkenal, adalah Economic and society (1913) dan sociologi of Religion (1920).
Sosiologi hukum merupakan cabang dari ilmu sosiologi, jadi bukan cabang dari ilmu hukum. Di dalam ilmu hukum juga ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum yang disebut sebagai sociological jurisprudence dan tidak disebut sosiologi hukum.
Konsep rasionalitas yang menjadi titik perhatian utama Max Weber, sebenarnya hampir sama dengan konsep solidaritas dari Durkhaim, Konplik Kelas oleh marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi COMTE, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Webber elihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Hal ini tercermin pada tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial, juga terungkap dalam evolusi music barat. Meskipun musik sering disebut sebagai bahasa emosi, Webber memperlihatkan bahwa music juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan barat modern. Disamping itu, pengaruh agama juga dapat memperbesar kecenderungan bertambahnya rasionalitas, dimana ide-ide agama berperan dalam meningkatkan perubahan sosial. Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga material. Kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusia secara independen, kendati bertentangan dengan kepentingan materilnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kemudian muncul pertanyaan sebagai permasalahan sebagai berikut:
1.Bagaimanakah Konsep Rasionalitas mempengaruhi terbentuknya tindakan sosial menurut Mark Webber?
2.Bagaimanakan analisa Mark Webber mengenai hubungan antara orientasi agama dengan pola motivasi dan rasionalitas ?

PEMBAHASAN
A.Konsep Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Berbeda dengan Durkheim, Weber memandang bahwa sosiologi merupakan Ilmu yang mempelajari fakta sosial yang bersifat eksternal, memaksa individu dan bahwa fakta sosial harus dijelaskan dengan fakta sosial yang lainnya. Jika Durkheim melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang mengatasi individu, berada pada suatu tingkat yang bebas, maka sebaliknya Weber melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Webber menekankan individu dan arti subyektif dalam tindakan yang sedang dilaksanakan oleh manusia.
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada vertehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.
Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.
Rasionalitas dan Peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Misalnya apabila seseorang memilih yang kurang mahal dari dua produk yang sama, kita mengerti perilaku itu sebagai yang rasional, karena sesuai dengan kretaria rasionalitas obyektif yang kita terima. Namun tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai suatu manifestasi rasionalitas.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Webber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tife tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikannya adalah tindakan rasional dan yang non rasional.
Dikenal beberapa tipe tindakan sosial, antara lain :
1)tindakan Rasionalitas instrumental (zweckrationalitat), tingkat rasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan.
2)Rasionalitas yang berorientasi nilai, hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih.
3)Tindakan tradisional, merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakannya kalau diminta, hanya dengan mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya.satu-satunya pembenaran yang perlu adalah bahwa “inilah cara yang sudah dilaksnaakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnaya rasionalitas instrumental.
4)Tindakan Afektif, yang ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan yang meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi atau kriteria rasionalitas lainnya.
Struktur sosial dalam perspektif Webber didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu. Pengaturan orang-orang secara hirarki dalam suatu stratifikasi sosial merupakan suatu segi yang sangat mendasar. Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas. Bagi dia kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Orang juga digolongkan dalam lapisan-lapisan berdasarkan kehormatan atau prestise seperti yang dinyatakan dalam hidup bersama.
Menurut weber, perkembangan hukum ataupun perkembangan masyarakat selalu bergerak dari yang irasional menuju ke yang rasional dan kemudian transisi dari substantively rasional law ke formally rasional law. Sosiologi hukum, menurut Weber, tidak berurusan dengan karakteristik internal dari suatu ketertiban hukum, tetapi sosiologi hukum berkepentingan dengan analisis tentang hubungan antara tindakan sosial dan struktur sosial lainnya. Dihubungkan dengan konsepnya tentang “dominasi hukum”, maka hukum bukan hanya merupakan bentuk khusus dari ketertiban politik, melainkan juga merupakan suatu suatu ketertiban sentral yang bersifat mengatur secara independen. Disamping itu, weber mengakui adanya dua kategori hukum, yaitu:
1. Kategori hukum yang dibuat (law making); dan
2. Hukum yang ditemukan (law finding).
Meskipun tulisan-tulisan Weber secara metodologi menekankan pentingnya arti-arti subyektif dan pola-pola motivasional, karya substantifnya meliputi suatu analisa struktural dan fungsional yang luas jangkauannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam modelnya tentang stratifikasi yang memiliki tiga dimensi, studinya mengenai dominasi birokratif dan pengaruhnya dalam masyarakat modern, serta ramalannya yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari pengaruh etika Protestan.
Dalam hubungan dengan dominasi hukum, Max Weber membagi tahap perkembangannya ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1.Bentuk tradisional
Weber membagi bentuk ini kedalam tiga otoritas, yaitu gorontokrasi, patriarkalisme dan patrimonialisme. Pengawasan dalam gerontokrasi berada pada tangan orang-orang tua dalam suatu kelompok, pengawasan dalam patriarkalisme berada dalam tangan suatu keasatuan kekerabatan (rumah tangga) yang dipegang oleh seorang individu tertentu yang memiliki otoritas warisan. Dalam kedua sistem ini tidak ada staf administratif seperti lazimnya kita kenal, dan bawahannya merupakan anggota kelompok itu yang atas namanya otoritas dilaksanakan. Sebaliknya, dalam suatu sistem otoritas patrimonial terdapat suatu staf administratif. Tidak seperti staf administrasi dalam suatu birokrasi, staf administrasi patrimonial terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpinnya.
2.Bentuk otoritas karismatik
otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin itu sebagai seorang pribadi. Otoritas ini laindari bentuk otoritas yang biasa. Istilah “karisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Dalam penggunaan weber, hal ini meliputi karakteristik-karekteristik pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya. Asal-usul istilah ini sangat erat kaitannya dengan teologi, yang menunjuk pada bakat rahmat yang secara bebas diberikan Allah kepada orang-orang tertentu. Juga istilah ini digunakan Weber dalam menggambarkan pemimpin-pemimpin agama yang berkarismatik di mana dasar kepemimpin mereka adalah kepercayaan bahwa mereka memiliki sesuatu hubungan khusus dengan yang ilahi, atau malah mewujudkan karakteristik-karakteristik ilahi sendiri.
Tidak seperti sistem otoritas tradisional dan lembaga-rasional, kepemimpinan karakteristik tidak dioreantasikan kepada hal-hal rutin yang stabil dan langgeng. Kalau otoritas tradisional diorientasikan untuk pertahanan status-quo, kepemimpinan karismatik biasanya menantang status-quo. Pemimpin karismatik mengemukakan pesan dengan rumusan tegas, “memang itulah yang tertulis, aku mengatakan kepadamu....” pesan itu bertentangan dengan tradisi dan merupakan dobrakan menuju ke suatu bentuk keteraturan sosial atau keteraturan modal baru dan yang lebih baik.
3.Bentuk hukum rasional (Organisasi birokratis)
otoritas legal rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda sikap yang umumnya terdapat di masa kini yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efesien, boros dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar (extended family) dan hubungan pribadi, weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Seperti dilihatnya langsung dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasi ketika sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prusia, dan ketika dia melihat perkembangan sistem administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya, dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besar pengaruh birokrasi. Bentuk organisasi sosial birokrasi, yang mencerminkan suatu tingkat rasionalitas instrumental yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser bentuk-bentuk tradisional, hanya karena efisiensinya yang besar itu.
Sifat-sifat ideal birokrasi menurut Weber adalah, sebagai berikut: (1) suatu pengaturan fungsi resmi yang terus menerus diatur menurut peraturan. (2) suatu bidang keahlian tertentu, yang meliputi; (a) bidang kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditandai sebagai bagian dari pembagaian pekerjaan yang sistematis, (b) ketetapan menganai otoritas yang perlu dimiliki seseorang yang menduduki suatu jabatan untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini, (c) bahwa alat paksaan yang perlu secara jelas dibatasi serta penggunaannya tunduk pada kondisi-kondisi terbatas itu... (3) Organisasi kepegawaian mengikuti prinsip hirarki, artinya pegawai rendahan berada di bawah pengawasan dan mendapat supervisi dari seseorang yang lebih tinggi.... (4) peraturan-peratuan yang mengatur perilaku seorang pagawai dapat merupakan peraturan atau norma yang sifat teknis. Dalam kedua hal itu, kalau penerapannya seluruhnya bersifat rasional, maka (latihan) spesialisasi diharuskan... (5) dalam tipe rasional hal itu merupakan masalah prinsip bahwa para anggota staf administratif harus terpisah dari pemilikan alat-alat produksi atau administrasi... (6) dalam hal rasional itu, juga biasanya terjadi bahwa sama sekali tidak ada pemberian posisi kepegawaiannya oleh seseornag yang sedang menduduki suatu jabatan... (7) tindakan-tindakan, keputusan-keputusan, dan peraturan-peraturan administratif dirumuskan dan dicatat secara tertulis.....
4.Tipe-tipe Otoritas Campuran
Karena ketiga pola hubungan otoritas yang berbeda itu adalah tipe-tipe ideal, kita tidak boleh mengharapkan salah satu di antaranya akan nampak dalam bentuknya yang murni seacara empirik. Sebaliknya, dalam banyak hal, hubungan otoritas dalam kehidupan yang riil cenderung mencerminkan tingkat-tingakat yang berbeda-beda dari ketiga tipe itu.
Sehubungan dengan ini, Etzioni mengembangkan suatu model dinamika organisasi yang mendiskusikan secara eksplisit manispestasi pengaruh karismatik yang terus menerus dalam organisasi birokratis. Dia berpendapat bahwa salah satu tantangan organisasi birokratis adalah untuk memanfaatkan pengaruh karismatik yang ada pada pegawai dalam organisasi itu dari pada membuanya kacau balau.
Selain pengaruh kharismatik, organisasi birokratis banyak mendapat menggunakan dukungan yang terdapat dalam tradisi. Dari tingkat yang paling atas sampai ke yang paling bawah, keputusan dibuat dan usaha untuk mempengaruhi itu dibenarkan berdasarkan hal-hal yang sudah terjadi. Kuatnya kebiasaan tradisional dapat kita lihat dalam kalimat yang sering diucapkan “kami selalu berbuat begitu”. Para ahli teori masa kini mengenai organisasi mengemukakan bahwa mencari jalan keluar untuk masalah-masalah baru sering mulai mengujinya dengan apa yang terjadi di masa lampau dalam organisasi itu untuk melihat kalau-kalau ada suatu preseden yang dapat ditemui dan dapergunakan untuk mengatasi krisis masa kini. Dalam melihat saling ketergantungan antara ketiga pola otoritas ini, penggunaan konsep-konsep ini dalam analisa data empirik harus meliputi usaha menentukan pola yang dominan dan juga cara dimana ketiga tipe ini saling berhubungan dan tingkat di mana ketiga saling mendukung atau saling merusakkan. Tekanan Weber sendiri dalam menggunakan konsep-konsep tipe ideal ini adalah untuk menunjukkan betapa otoritas legal-rasional itu berkembang dalam masyarakat modern, masyarakat industri kota dengan mengorbankan otoritas tradisional.
Selanjutnya, menurut Max Weber, dominasi hukum atau otoritas hukum dijalankan atas prinsip-prinsip sebaga berikut:
1.Norma-norma umum dibentuk atas dasar imposition atau perjanjian.
2.Hukum merupakan sistem yang konsisten, yang secara sadar dibuat dari aturan-aturan yang abstrak.
3.Superior harus tunduk pada aturan. Segala sikap tindakannya harus sesuai dengan ketertiban yang bersifat impersonal.
4.Keputusan hukum harus langsung pada rulr of law.
5.Kepatuhan pada pemimpin bukanlah kepada pemimpin itu sendiri, melainkan pada ketertiban yang bersifat impersional. Sedangkan birokrasi hanyalah bentuk asli dari dominasi hukum.

B.ANALISIS MAX WEBER MENGENAI AGAMA, POLA MOTIVASI DAN RASIONALISASI

1.Weber dan Marx mengenai pengaruh agama
Menurut marx, perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan sejarah serta transisi dari suatu tipe ketipe struktur sosial lainnya. Perjuangan kelas mencerminkan kepentingan-kepentingan ekonomi objektif yang berlawanan dalam kelas-kelas yang berbeda, khususnya apabila kelas bawah itu sadar akan kepentingan ini melalui kesadaran kelas. Kepentingan-kepentingan ini ditentukan oleh kondisi-kondisi materil dimana para anggota dari kelas-kelas itu berada. Jadi dalam suatu yang stabil apabila kesadaran itu rendah tingkatannya, maka agama itu dilihat sebagai candu bagi manusia itu. Perubahnan revollusioner lalu menuntut supaya ilusi dan institusi agama itu dihancurka, demikian pandangan Marx.
Menurut Weber mengakui pentingnya kondis materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi kepercayaan, nilai dan prilaku manusia. Weber memperluas persefektif Marx mengenai srtatifikasi. Namun weber mengakui pengaruh ekonomi dan materi, serta menyangkal bahwa ide-ide, bahkan ide-ide agama dapat mempunyai penagruh yang independen sifatnya terhadap perilaku manusia. Webwer menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga materil. Kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusiasecara indevenden, kendati bertentangan dengan kepentingan materilnya.

2.Kepercayaan Protestan dan perkembangan Kapitalisme
Analisa Weber dalam bukunya The protestan Ethic and the Sprit of Capitalism, bahwa aspek-aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistemekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengrauh yang yang merangsang ini dapat dilihat sebagi suatu elective affinity ( konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang berrsifat mendukung secara timbla balik) antara tuntutab etis tertntu yang berasal dari kepercayaan Protestan dan pola-pola motivasi ekonomi yang perlu untuk pertumbuhan sistem kapitalisme.
Dalam melihat kontroversi yang muncul dari tesisnya ini, harus jelas bahwa tidak mengemukakan kapitalisme disebebkan oleh Protestantisme. konsep elective affinity jelas menghindarkan hubungan sebab akibat. Konsep ini berhubungan dengan kesesuaian logis dan konsistensi psikologis dimana keduannya saling mendukung. Baik Protestantisme maupun kapitalisme menyangkut pandangan hidup yang rasional dan sistematis. Etika protestantisme memberi tekanan pada pada usaha menghindari kemalsan atau kenikmatan semaunya, dan menekankan kerajinan dalam melaksanakan tugas dalam segi kehidupan, khususnya dalam pekerjaan dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Perkembnagan kapitalis modern menuntut untuk membantasi konsumsi supaya uang yang ada diinvestasikan kembali pada pertumbuhan modal, menuntut kesediaan untuk tunduk pada disiplin perencanaan yang sistematis untuk tujuan-tujuan dimasa mendatang, bekerja secara teraturdalam suatu pekerjaan dan sebagainya.
Lebih lanjut Weber mengakui bahwa pengaruh Protestantisme ini pada kapitalisme tidak harus tetap selamanya. Pandangan bahwa Protestantisme membantu merangsang munculnya kapitalisme pada tahap awalnya tidaklah berarti bahwa kapitalisme itu seterusnya membutuhkan legitimasi agama. Weber mengakui sesudah kapitalisme itu berdiri, dia lalu menjadi otonom dan berdikari, tanpa membutyhkan agama.

3.Etika Protestantisme sebagai protes terhadap Katolisisme
Ciri khas apa yang membedakan etika Protestan yang relevan dengan munculnyakapitalismedari etika katolik ? Bagi Weber, etika protestan memperlihtkan suatu orientasi agama yang bersifat asktik dalam dunia yang jauh lebih lengkap daripada agama besar apaun lainnya, termasuk Katolisisme. Asketisme dalam dunia menunjuk pada komitmen untuk menolak kesempatan (atau sangat membatasi diri ) untuk menuruti keinginan fisik atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik untuk mengejar suatu tujuan yang lebih tinggi atau yang bersifat spritual, tujuan spritual ini harus dicapai melalui suatu komitmen yang sistematis dan rajin dalam melaksanakan tugas di dunia ini.
Bersama dengan sistem sakramental ini, orientasi Katolik tradisonal jauh lebih bersifat luar dunia (other wordly) dari pada orientasi protestan. Artinya kepercayaan dan nilai yang terdapat dalam agama katolik menekankan perhatian individu pada kehidupan sesudah kematian , dan tujuan utama hidup manusia dilihat pada persiapan untuk hidup sesudah kematian itu. Meskipun Paus dan banyak pejabat tinggi Gereja sangat terlibat dalam urusan politik duniawi dan ekonomi, pengaruh dari ajaran mereka adalah merendahkan pentingnya kehidupan duniawi ini. Dalm kehidupan yang sangat singkat di dunia ini orang diharapkan tunduk pada tradis-tradisi yang sudah mapan dan menerima posisi yang ditentukan baginya dalam hidup ini.

4.Etika protestan dan proses sekularisasi
Etika protestan membawa sukses dalam bidang materi, godaan untuk menikmati hasil materi itu membantu hilangnya motivasi agama untuk mengikuti daya hidup askestis yang dituntut oleh protestantisme. Juga sama halnya pengaruh agama protestan yang positif terhadap ilmu pengetahuan diikuti oleh situasi dimana kepercayaan agama tradisonaldan penagnut protestan dirusakkan oleh pendekatan ilmiah dalam menjelaskan gejala alam. Mungkin yang paling penting adalah bahwa tekanan agama protestan pada kegiatan dalam dunia ini ikut menghsilkan suatu situasi dimana dunia ada duniawi dan dunia sesudah kematian itu pelan-pelan hilang dari kesaradaran.
Ide- ide weber mengenai pengaruh etika protestan tidak didasarkan pada analalisi sejarah yang sistematis. Tujuannya bukan untuk menelusuri perkembangan sejarah protesrtantisme. Sebaliknya dia bergerak kurang lebih di antara pelbagai cabang protestantisme di pelbagai periode dalam sejarah protestan.

Jumat, 26 Februari 2010

PERKEMBANGAN HUKUM DI NEGARA BERKEMBANG PERAN BUDAYA HUKUM

HENDRI SALAHUDDIN
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Mataram


A. Pendahuluan
Makalah ini merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan hukum, terutama di negara berkembang. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi pentingnya budaya hukum dalam masyarakat yang mengingikan terjadinya reformasi hukum. Meskipun makalah ini baru sebatas sebuah konsep, Saya memberikan uraian yang disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-an.

Saya mengawali Bagian A dengan membahas hukum dan gerakan pembangunan semenjak tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dengan fokus kajian pada cangkok hukum. Pada bagian B, Saya menggunakan pendekatan holistik untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya perubahan hukum. Saya membahas konsep Budaya Hukum-nya Lawrence M. Friedman dan taksonomi sistem hukum karya Ugo Mattei. Pada bagian C, dengan menggunakan pendekatan dari kedua sarjana tersebut, Saya memperkenalkan konsep ‘kebiasaan hukum’ dan ‘kesadaran hukum’. Saya selanjutnya membuat sebuah model ysng sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisa budaya hukum dan pembangunan hukum dalam konteks dinamis. Saya juga mengajukan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan implikasi yang ditimbulkan oleh model ini.

B. Pembahasan
1. Hukum dan Pembangunan
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan dengan hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran hukum dalam konteks pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Salah satu kunci dari gerakan ini terletak pada dapat tidaknya hukum modern negara maju diimpor dan digunakan negara berkembang untuk mempercepat pembangunan. Ada beberapa pendekatan terhadap permasalahan ini.

Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat kepada negara berkembang, memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Dua sarjana bidang hukum dan pembangunan menyebut pendekatan ini sebagai ‘hukum liberal’. Inti dari pendekatan ini adalah masyarakat terdiri atas individu, kelompok dan negara; negara memegang kontrol hukum untuk mencapai tujuan masyarakat; negara menerapkan hukum yang sama kepada semua orang secara bebas dan rasional; dan perilaku sosial cenderung mengikuti hukum tersebut.

Pendekatan ini percaya bahwa pembangunan hukum merupakan prasyarat pembangunan ekonomi dan hukum modern negara maju dapat diterapkan di negara berkembang sebagai cangkok hukum untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya, kajian Watson terhadap cangkok hukum menunjukkan bahwa peminjaman telah menjadi fenomena umum dalam sejarah dan merupakan sumber paling subur dalam pembangunan hukum.

Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau dipinjam dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan sarjana asal Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara mempunyai kesatuan oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui pembentukan norma-norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik. Di sini tidak akan dibicarakan pengraruh aliran yurisprudensi Savigny pada para sarjana Belanda pada awal abad 20 (seperti Cornelius dan Vollenhoven) dan pemimpin nasional Indonesia , seperti Soepomo,. Mengikuti garis pemikiran ini, Robert Seidman yang dikenal melalui ‘ Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan’ (The Law of Non-Transferability of Law) mengatakan bahwa perpindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak mungkin dilakukan karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.

Pandangan yang menyatakan bahwa cangkok hukum mempunyai peran positif dalam pembangunan ekonomi dipertegas oleh gencarnya program modernisasi bidang hukum di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika juga sebagian kecil negara berkembang di Asia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Proses ini dijuluki ‘difusi hukum’ (legal difusionism).

Namun demikian, momen keraguan terhadap kemanjuran program modernisasi hukum ini mulai muncul. Patrick Mc Auslan, 1997, menulis bahwa hukum dan gerakan pembangunan tahun 1960-an sangat percaya jika hukum mempunyai peran yang sangat vital dalam pembangunan. Dalam pandangannya, gerakan tersebut kehilangan momen karena penekanan dari gerakan tersebut terletak pada bidang hukum struktural dan substantif dan gagal menentukan sifat hubungan sebab akibat antara hukum dan pembangunan secara lebih umum.

Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi tpoik yang hangat. Hal ini tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang. Dukungan ini dilakukan melalui agen-agen multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan juga lembaga bantuan individu seperti USAID. Tak di sangkal bahwa minat pembaharuan bidang hukum merupakan atribut, meskipun sebagian, terhadap realisasi bahwa pemerintahan yang baik- yang pada gilirannya nanti mensyaratkan kerangka kerja hukum yang memuaskan- merupakan inti dari pembangunan ekonomi yang kokoh. Bank Dunia, khususnya, mengetahui secara eksplisit pentingnya reformasi hukum dalam konteks ini:
Kerangka hukum dalam sebuah negara merupakan unsur penting dalam pembangunan ekonomi, politik dan sosial. Menciptakan kemakmuran melalui komitmen kumulatif manusia, sumber daya teknologi dan modal sangat bergantung pada hukum yang dapat mengamankan hak milik, masyarakat sipil yang teratur, dan perilaku komersial, dan membatasi kekuasaan negara.

Lebih dari itu, ketika masalah hukum dan pembangunan kembali mendapatkan perhatian, Saya melihat sisi positif lain. Menurut pendapat Saya mereka yang terlibat dalam perdebatan ini lebih menyadari keterbatasan reformasi hukum struktural dan substantif, terutama dalam cangkok hukum. Justru, ada kesadaran yang semakin bertambah jika keyakinan dan norma sosial untuk menerima masyarakat dan keinginan dan kapasitas mereka untuk menjelajah, memahami dan mematuhi hukum baru merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan cangkok hukum tersebut.

Pendekatan lain juga menyebutkan bahwa reformasi hukum, melalui penggunaan cangkok hukum, bukanlah inti dalam pembangunan ekonomi bahkan tidak relevan. Perannya terletak di tengah-tengah dengan memainkan peran pemberdayaan yang sederhana tetapi penting dalam proses perubahan sosial. jika benar, Saya berpendapat tugas mendesak untuk memunculkan kembali perdebatan antara hukum dan pembangunan adalah dengan menemukan hubungan antara pembangunan hukum dan masalah ekonomi, sosial dan politik secara luas. Dengan kata lain, tugas mendesak saat ini sama seperti yang dikatakan empat dekade lalu:

Yang dibutuhkan adalah suatu kajian terhadap metode di mana hukum yang didukung oleh otoritas negara dapat mempengaruhi perilaku dan faktor sosial, politik, psikologis dan faktor lain yang jauh dari sistem hukum normatif membatasi kemampuan hukum untuk mengubah perilaku.

Tujuan di atas disampaikan karena akan memperjelas pengaruh faktor eksternal terhadap sistem hukum dan membatasi kemanjuran hukum jika hukum tersebut dapat mengubah perilaku. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa sebagian dari pikiran dasar liberalisme liberal ortodoks- misalnya, hukum merupakan alat yang efektif untuk mengubah masyarakat- tetap ada meskipun bukan merupakn yang dikritisi. Kita dapat terus menyakini kemanjuran bidang reformasi hukum dalam proses pembangunan dengan sedikit mengabaikan dampak daya ekonomi, sosial dan politik terhadap sistem hukum. Jadi, reformasi hukum dapat dianggap sebagai sebab dan dampak dari perubahan sosial yang luas. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan model yang lebih menyeluruh dan memahami potensi dan keterbatasan hukum dalam pembangunan ekonomi secara lebih realistis.
Bagian B: Pendekatan Holistik pada Sistem Hukum
Dari pembahasan awal, kita mengetahui bahwa pendekatan holistik terhadap pembangunan dan hukum sangat penting. Kunci dari pendekatan ini adalah apresiasi yang sepenuhnya terhadap unsur sistem hukum lain, sifat dan keluasan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Dengan memahami unsur sebuah sistem hukum, kita mengetahui bagaimana sebuah sistem bekerja pada satu titik waktu. Dengan memahami faktor eksternal, kita dapat mengetahui petunjuk-petunjuk bagaimana faktor-faktor tersebut dapat membuat sistem mengalami perubahan. Memahami unsur sebuah sistem hukum merupakan analisis statis sedangkan memahami faktor eksternal merupakan analisis dinamis. Keduanya dapat digunakan jika model teorinya dibuat dengan tujuan menganalisa sistem hukum karena model ini akan senantiasa berkembang.
Sampai di sini, Saya membahas dua konsep analitik yang dapat menjelaskan perilaku sistem hukum statis dan dinamis. Konsep pertama adalah konsep ‘budaya hukum’ karya Lawrence M. Friedman dan konsep Ugo Mattei ‘taksonomi sistem hukum’ yang disebutnya ‘ pola hukum’ (Patterns of Law)
1. Budaya Hukum
Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum. Struktur mengacu pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hokum substansi mengacu pada hukum – peratutan prosedur dan substansi- dan norma yang digunakan dalam sebuah lembaga dan mengikat hokum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana hukum cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem hukum yang sedang mereka pelajari. Friedman membrikan tanggapan terhadap kecenderungan ini:
Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah sistem hukum, tetapi baru sebatas desain atau cetakbiru dan bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi masalah karena keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum. Potret tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran… dan seperti ruang pengadilan yang dipercantik , membeku, kaku, sakit berkepanjangan.
Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan dalam sistem hukum adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara bekerja dan berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari hukum dengan cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang paling penting:
Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan hukum yang hidup. Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak.
Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman ‘tidak mempunyai kekerasan’ dan ‘secara teoritis tidak padu’. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan bahwa tidak adanya presisi dalam istilah ‘budaya hukum’ tidak membuat konsep itu tidak padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan presisi sama halnya dengan ‘hukum struktur’, ‘sistem hukum’, dan ‘opini publik’. Menurut Friedman, arti pentinya ‘budaya hukum’ adalah bahwa konsep ini merupakan variabel penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Dalam pemahaman Saya, Cotterrell menggarisbawahi kesulitan dalam menggunakan konsep budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu karena tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks ‘budaya hukum’ cenderung sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya hokum menembus masyarakat dan bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell sendiri mengakui bahwa konsep Friedman ‘merupakan usaha yang paling dapat menjelaskan konsep budaya hukum dalam sosiologi hukum komparatif dan mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis penggunaan konsep tersebut’.
Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya hukum. Sikap menurut Friedman merupakan ‘budaya hukum situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai masyarakat umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam sistem hukum, seperti pengacara, hakim, penegak hukum dan lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa budaya hukum situasi tidaklah homogen. Bagian masyarkat yang berbeda memiliki nilai dan sikap berbeda terhadap hukum.
Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena negara berkembang sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum dari negara barat dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum setempat. Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan substantif asing, konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik.
Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh komentator luar negeri pada awal tahun 1972. Pada tahun 1982 mantan menteri hukum dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama. Namun setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru sekarang diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia. Tim Lindsey menulis:
Pandangan instrumentalis yang menyerap banyak literatur dan praktek belumlah cukup. Seperti yang terjadi di Indonesia, hukum bukan sekedar tugas yang dapat ditarik oleh pemerintah, multilateral dan legislatif untuk memulai atau menghentikan atau memperbaki kegiatan sosial dan ekonomi…. Hukum juga bukan sekedar keputusan hukum dan statuta. Sebagian besar pengacara sekarang mengetahui bahwa hukum dan norma yang berada di balik peraturan dan orang yang membuat dan menerjemahkannya. Hukum, dalam pengertian ini, tidak dapat dibedakan dari politik dan ekonomi.
Dengan demikian, analisis pada struktur hukum dan hukum substantif dan terjemahan terhadap budaya hukum dapat memperlebar jarak. Hasil survei terhadap reformasi hukum di Indonesia pada tahun 1950-an sampai dengan 1990-an oleh David Linnan merupakan informasi penting yang dapat didiskusikan. Linan menyatakan tiga artikulasi yang saling melengkapi yang dapat menjelaskan kegagalan reformasi hukum di Indonesia sejak tahun 1950-an, yaitu: a) pendekatan ilmu politik dan sosiologi yang menekankan peran elit penguasa, b) pendekatan budaya dan psikologi yang menekankan peran sikap feudal orang Jawa atau Indonesia, c) interpretasi disfungsi organisasi yang menekankan dampak problem mendasar dalam organisasi pemerintah Indonesia, terutama di bawah UUD 1945. Linnan menyatakan bahwa interpretasi disfungsi organisasi dapat memberikan penjelasan kegagalan reformasi hukum selama Orde Baru.
Dalam pandangan saya, meskipun interpretasi disfungsi organisasi terdiri atas beberapa nilai, tetapi belum memuaskan. Intinya adalah penjelasan institusional tidak dapat sepenuhnya menjelaskan keluaran reformasi hukum di Indonesia yang belum memuaskan pada tahun 1990-an. Hukum Perniagaan di Indonesia adalah contohnya. Hukum perniagaan di Indonesia dibuat terpisah dan berbeda pada tahun 1998 dengan mengikuti revisi undang-undang kebangkrutan. Hukum yang baru ini diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam proses dan penyelesaian kasus, terutama catatan buruk terhadap sistem hukum Indonesia yang korup.
Meskipun terdengar sebatas konsep, pengadilan baru tidak dapat memenuhi harapan. Sebagaimana yang terlihat, kegagalan ini disebabkan karena keberhasilan reformasi hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi juga sikap mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya tidak akan efektif.
Ketika melihat hukum di Indonesia, perhatian dititikberatkan pada masalah structural, seperti sistem dewan dua pintu dan ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada tahun 1995 dan membandingkannya dengan produk hukum lainnya. Pendekatan ini sering mengabaikan bagaimana hukum perusahaan benar-benar bekerja dalam kehidupan. – permasalahan-permasalahan seperti mengapa pemegang saham menolak untuk mengajukan direktor dan komisaris ke pengadilan ketika mereka mempunyai hak untuk menuntut mereka, atau mengapa pegawai di Amsterdam bertindak dengan cara berbeda ketika mereka bekerja di Jakarta meskipun ketetapan hukum perusahaan sama. Menurut Friedman, pendekatan tersebut gagal membedakan sistem hukum yang tertulis dengan system hukum yang berlaku dalam masyarakat.
1. Pola Hukum Mattei
Jika konsep Friedman ‘budaya hukum’ mencoba menjelaskan unsur dalam setiap sistem hukum, Mattei dengan konsep ‘pola hukum’ mencoba menjelaskan, dengan membuat taksonomi sistem hukum komparatif, bagaimana sistem hukum berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana perkembangan perbedaan tersebut. Mattei menyampaikan pandangannya ‘pola sistem hukum’ pada tahun 1997. Dia beranggapan bahwa taksonomi sistem hukum standar pada hukum sipil, umum, agama dan tradisi hukum masyarakat atau keluarga tertinggal zaman, utamanya di belahan Eropa-Amerika yang mengabaikan peta dunia hukum berdasar geografis dan tidak memasukkan budaya. Konsep taksonomi sistem hukum yang diajukan Mattei, yang disebut ‘pola sistem hukum’, mempunyai nilai karena taksonomi tersebut menghasilkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menganalisa perubahan dan pembangunan dalam sistem hukum yang berbeda-beda.
Dengan menggunakan pendekatan Weber, Mattei mempostulatkan bahwa ada tiga sumber utama norma sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu politik, hukum dan filsafat dan tradisi agama. Sistem hukum selalu didefinisikan dalam skema tripartit sesuai dengan sumber perilaku sosial yang memainkan peran utama di atara mereka. Dengan ini, Mattei melihat sistem hukum dunia menganut pada salah satu dari tiga kategori sistem hukum tersebut, yaitu: peraturan hukum profesional, hukum politik, dan hukum tradisional.
Sistem hukum yang termasuk dalam kategori ketiga, aturan hukum tradisional, dapat dilihat dari pola hukum dimana agama ataupun filosofi transcendental yang melekat dalam dimensi internal individu dan dimensi kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.73 Dalam sebuah sistem, lembaga hukum bisa saja terbentuk; akan tetapi, bagaimana lembaga hukum tersebut bekerja tentunya akan berbeda jika dibandingkan dengan suatu sistem yang dijalankan dengan hukum profesional. Menurut Mattei, beberapa ciri dari suatu sistem hukum tradisional adalah: terbatasnya peranan pengacara dikarenakan besarnya peran sesepuh atau orang yang dianggap mengerti agama, mediator, dan mereka yang memiliki wewenang keagamaan; pandangan yang begitu menomorsatukan rasa penyesalan; pandangan yang begitu menjunjung tinggi keselarasan; serta keberadaan kode-kode bergaya Barat yang tidak memiliki landasan sosial yang penting, sehingga membatasi kinerja lembaga-lembaga hukum hanya pada bidang-bidang hukum tertentu saja atau masyarakat tertentu saja.74
Taksonomi Mattei dapat dibandingkan dengan pendekatan terhadap pembangunan hukum yang dikenalkan oleh Eugene Kamenka Alice Tay. Pendekatan tersebut diambil dari karya-karya Weber serta ahli sosiologi lainnya, Ferdinand Tonnies, serta pengembangan dari pandangan yang menyatakan bahwa sistem hukum modern dan pembangunan hukum biasanya terdiri dari:
Benturan yang agak sulit dimengerti antara tiga paradigma besar mengenai ideologi sosial, organisasi sosial, hukum dan administrasi… [disebut dengan] the Gemeinschaft atau keluarga komunal organik, the Gesellschaft atau perjanjian individu-komersial, serta paradigma birokrasi administratif 75
Aturan sosial model gemeinschaft berdasar pada norma-norma intrinsik dan nilai-nilai masyarakat yang dijunjung tinggi. Sedangkan aturan sosial model gesellschaft berasal dari ideologi liberal Barat; khususnya pemikiran tentang pemisahan antara negara dan individu. Bentuk birokrasi administratif suatu aturan sosial memaknai aturan sebagai suatu cara untuk mendapatkan intisari dari tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh negara. Dengan demikian, gemeinschaft lebih terarah pada internalisasi norma sosial, gesellschaft lebih terarah pada hak asasi manusia, dan konsep birokrasi administratif lebih pada kebijakan negara.
Pandangan Kamenka-Tay mengenai pembangunan hukum sangatlah berguna dimana pandangan tersebut menjelaskan tiga tipe dasar organisasi sosial dan bagaimana setiap tipe tersebut dapat menentukan jenis sistem hukum yang terjadi dalam masyarakat. Terlebih lagi, pandangan-pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan pola hukum menurut Mattei.76 Aturan Mattei terhadap hukum tradisional secara umum dapat disamakan dengan paradigma gemeinschaft: aturan mengenai hukum politis dengan paradigma birokrasi-administratif; dan aturan hukum profesional dengan paradigma gesellschaft.
Akan tetapi, meskipun terdapat kesamaan, masih terdapat hal-hal yang belum sempurna. Dalam hal ini, taksonomi Mattei secara terbuka mengakui adanya dampak politik terhadap sistem hukum serta menciptakan sebuah kategori baru mengenai hal ini. Senada dengan Weber, taksonomi Mattei membuat kekuatan politik dan aturan hukum politik menjadi kekuatan yang berseberangan dengan rasionalitas formal yang membentuk landasan bagi aturan hukum profesional. Sebaliknya, dalam pendekatan Kamenka-Tay tidak jelas apakah rasionalitas formal Weber merupakan suatu fungsi bagi gesellschaft dan paradigma birokrasi administratif, atau salah satunya, atau tidak keduanya. Perbedaan yang tidak jelas ini mengakibatkan tidak diperhitungkannya kekuatan politik dalam suatu sistem hukum. Berdasarkan alasan ini, Saya lihat pendekatan Mattei biasanya lebih disenangi daripada pendekatan Kamenka-Tay.
Sampai disini, penting untuk membahas dua implikasi penting yang diperoleh dari taksonomi Mattei. Pertama, taksonomi ini mencoba untuk menggabungkan dan merefleksikan peran budaya hukum dalam suatu sistem hukum yang berlaku.77 Dengan mengunakan pandangan fundamental Weber, dimana hukum adalah suatu alat organisasi sosial, Mattei mengembangkan sebuah taksonomi yang secara eksplisit menjelaskan bahwa norma-norma budaya suatu masyarakat memiliki muatan kritis terhadap sifat dari sistem hukum ini. Norma-norma budaya ini bermanifestasi dalam berbagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang kemudian akan menentukan tipe aturan hukum yang mendominasi suatu sistem hukum tertentu.
Kedua, dengan menambahkan bahwa klasifikasi dari suatu sistem hukum merupakan hasil dari perubahan kompetiti atas tiga kekuatan politik, hukum, dan tradisi, Mattei menawarkan sebuah perspektif yang dinamik terhadap studi tentang komparasi sistem hukum.78 Lebih dari itu, fakta bahwa ia menyebut kategori hukum politis sebagai “hukum tentang pengembangan dalam transisi” menjelaskan bahwa Mattei mengerti akan hal itu, sehingga dalam situasi tertentu, sistem hukum mampu dan mau untuk pindah dari model hukum tradisional, model hukum politis, menjadi model hukum profesional.79
Bagian C: Perubahan Model
Apakah yang bisa kita pelajari dari kontribusi Mattei dan Friedman? Menurut saya, gagasan Friedman tentang budaya hukum sangatlah berguna untuk menganalisis kenapa dan bagaimana sebuah sistem hukum bekerja pada waktu tertentu. Namun demikian, konsep dia sepertinya tidak banyak membantu ketika digunakan dalam analisis tentang bagaimana sebuah sistem hukum dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.80 Taksonomi Mattei yang baru sangat berguna untuk tujuan pemahaman terhadap bagaimana sebuah sistem hukum bisa berubah dari pola hukum tradisional menjadi pola hukum politis dan akhirnya pola hukum profesional. Namun, ternyata terdapat mata rantai yang hilang antara pandangan Mattei terhadap perubahan dinamik dalam suatu sistem hukum dan gagasan Friedman tentang apa yang menjadikan sebuah sistem hukum.
Oleh karena itu, bahkan dengan kontribusi yang diberikan oleh Friedman dan Mattei, masih tetap sulit untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah hubungan kausal, jika ada, yang terjadi antara tiga elemen struktur, hukum substantive dan budaya hukum di satu sisi, serta kekuatan ekonomi eksternal, politik atau sosial di sisi lainnya? Ketika kekuatan eksternal ini bersinggungan dengan sistem hukum, apakah hal ini menimbulkan suatu perubahan dalam struktur, hukum substantive atau budaya hukum? Dapatkah sebuah perubahan dalam hukum substantive, misalnya import, juga mengubah budaya hukum, dan kerangka ekonomi serta politik?
Untuk menjawab pertanyan tersebut, saya berharap untuk dapat membahas konsep budaya dan kemudian mencoba menyaring konsep Friedman tentang budaya hukum dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang Saya lihat. Sesudah itu, Saya menarik berbagai macam materi diskusi serta menampilkan suatu sistem hukum yang sederhana dan dapat dilakukan, sebagian besar merupakan karya Friedman dan Mattei, yang tentunya Saya percaya lebih akurat merefleksikan proses pengembanagan hukum baik sebagai sesuatu yang statis maupun dinamis
1. Budaya, Kesadaran & Kebiasaan
Tugas pertama saya adalah memperbaiki konsep budaya hukum Friedman. Ini tentu saja bukanlah sebuah tugas yang mudah mengingat ‘budaya’ adalah sebuah kata yang terkenal sangat kompleks. Sebuah buku antropologi karangan antropolog Amerika terkenal, Clifford Geertz, memberikan sebelas definisi budaya.81 Geertz sendiri mendefinisikan budaya sebagai:
sebuah pola yang diwariskan turun-temurun tentang makna yang terkandung dalam simbol-simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan tertuang dalam bentuk-bentuk simbolik yang merupakan cara bagi manusia untuk berkomunikasi, meneruskan, dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap mereka dalam menghadapi hidup.82
Definisi budaya yang lebih sederhana dan yang Saya anjurkan untuk digunakan dalam diskusi Saya adalah definisi yang dikemukakan oleh rancis Fukuyama: budaya adalah ‘kebiasaan baik yang diwariskan turun temurun’. 82 Definisi Fukuyama yang kurang jelas ini sebenarnya menekankan pada dua aspek penting budaya. Pertama, budaya bersifat baik dalam pengertian bahwa budaya mengandung nilai-nilai yang membedakan antara yang baik dan yang benar, atau apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya mengatur segala tingkah laku dengan menyatakan nilai-nilai dan norma tertentu yang baik atau dapat diterima dan yang tidak baik atau tidak dapat diterima.
Aspek penting kedua yang harus diperhatikan dalam definisi Fukuyama adalah budaya tidak harus rasional. Sebaliknya, budaya diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses pengulangan. Fukuyama mengutip contoh seorang lelaki China yang menggunakan sumpit untuk makan mie. Orang itu melakukan hal tersebut karena suatu kebiasaan, bukan melalui proses penilaian efisiensi atau tingkat kenikmatan yang diperoleh dengan makan mie menggunakan pisau dan garpu ala Barat dibandingkan dengan memakai sumpit.84 Dalam hal ini, budaya bukanlah sesuatu yang rasional atau irasiomal tetapi sesuatu yang arational. 85
Berdasarkan pendapat bahwa budaya adalah kebiasaan baik yang diwariskan, Saya mencoba untuk mengidentifikasi dua elemen terpisah dari konsep Friedman tentang budaya hukum. Saya menyebut elemen yang pertama dengan ‘legal habit (kebiasaan hukum.’ Dalam hal ini, Saya merujuk pada tindakan, sikap, nilai-nilai dan pendapat berkaitan dengan lembaga hukum dan hukum yang diwariskan dan diteruskan oleh seorang individu atau masyarakat melalui proses pembiasaan. 86 Saya menyebut elemen kedua ini ‘legal consciousness (kesadaran hukum)’.87 Dalam hal ini Saya menekankan pada kemampuan yang mencerminkan dan menilai sikap serta nilai-nilai yang membentuk kebiasaan hukum (legal habit). Oleh karenanya kesadaran hukum sebuah komunitas mengacu pada kapasitas komunitas tersebut untuk mempertimbangkan apakah beberapa kebiasaan hukum—sikap tertentu, nilai, pendapat atau keykinan tentang hukum—dapat diterima atau tidak diterima dalam komunitas tersebut.88
Menurut definisi-definisi tersebut, kebiasaan hukum (opini aktual atau sikap) dan kesadaran hukum (segala hal mengevaluasi kebiasaan hukum) keduanya merupakan fungsi dari pikiran. Kunci dari perbedaan ini adalah kebiasaan (habit), dalam bentuk sikap, nilai-nilai, dan opini, menjelaskan isi dari pikiran kita pada suatu saat tertentu. Sebaliknya, kesadaran menjelaskan kapasitas dari pikiran yang sama untuk menilai sikap dan pendapat yang dipercayainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan hukum (legal habit) berhubungan dengan masalah sikap, dan kesadaran hukum (legal consciousness) berhubungan dengan kapasitas penilaian.89 Dengan kata lain, kebiasaan hukum lebih banyak menggambarkan sikap masyarakat terhadap hukum pada suatu masa, sementara kesadaran hukum menentukan bagaimana sikap tersebut selalu berubah sepanjang waktu.
Mungkin contoh berikut ini akan membantu memberikan gambaran perbedaan antara kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness). Perhatikan sikap orang Asia terhadap proses pengadilan gaya Barat yang berlawanan. Banyak komentator yang melihat bahwa orang-orang Asia cenderung menolak proses pengadilan dan lebih menyukai metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan jalur pengadilan, misalnya mediasi.90 Sikap seperti itu terjadi akibat sistem nilai yang lebih menghargai keselarasan sosial dan menjaga hubungan baik dibandingkan dengan penghargaan banyak masyarakat Barat terhadap nilai-nilai tersebut.
Jika penolakan terhadap proses pengadilan ini dianut oleh komunitas orang Asia tertentu, maka hal ini akan menjadi kebiasaan hukum (legal habit) dari masyarakat tersebut, lebih luas lagi, budaya hukum masyarakat tersebut. 91 Lebih jauh lagi, jika Fukuyama benar dalam melakukan penilaian bahwa budaya adalah warisan atas kebiasaan baik, hal ini berarti bahwa penolakan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses pembiasaan dan bukan suatu pilihan yang rasional. Dengan kata lain, dalam masyarakat Asia, anak-anak tumbuh berkembang dalam suatu kebiasaan hukum (legal habit) yang menolak suatu proses pengadilan tanpa harus memikirkan lebih dalam hal tersebut.
Namun demikian, ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan mengembangkan kemampuan berpikirnya sendiri serta mulai merefleksikan isu-isu hukum, kesadaran hukum individual dan kolektif mulai terbentuk. Mereka mulai mengevaluasi kebiasaan hukum mereka (legal habit). Seandainya, pada akhirnya, salah satu dari anak-anak ini ada yang menjadi eksekutif senior perusahaan yang harus memutuskan untuk mengajukan tuntutan terhadap partner bisnis yang curang. Dia mungkin akan memutuskan untuk tetap menggunakan proses hukum daripada melakukan penolakan seperti para pendahulunya.
Dengan kata lain, kesadaran hukumnya telah melakukan evaluasi terhadap kebiasaan hukumnya dan dengan demikian melemahkan keengganannya terhadap proses pengadilan. Jika pengalaman-pengalaman individu ini banyak terjadi dalam masyarakat, maka setelah beberapa waktu, budaya hukum seluruh masyarakat akan berubah, yang ditandai dengan berkurangnya penolakan terhadap proses pengadilan. Maka, budaya hukum berubah sepanjang waktu melalui interaksi antara kesadaran hukum dan kebiasaan hukum. Dengan kata lain, pada saat kebiasaan hukum mendominasi budaya hukum pada suatu masa tertentu, maka kesadaran hukum-lah yang akan mempengaruhi budaya hukum dalam periode yang lebih lama.
Maka, konsep kesadaran hukum memberikan suatu alat bagi kita untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam budaya hukum dalam suatu konteks yang dinamis. Dengan identifikasi kebiasaan hukum dan kesadaran hukum sebagai dua elemen penting konsep Friedman mengenai budaya hukum, maka Saya melakukan perbaikan terhadap konsep Friedman. Dalam hal ini, konsep tersebut menjadi lebih tepat digunakan dalam membuat analisis yang dinamis dan prediktif.
Gagasan Friedman mengenai budaya hukum pada tingkat permukaan dan budaya hukum internal dapat juga dipahami sebagai tambhan terhadap konsep kesadaran hukum (legal consciuosness). Karena budaya hukum internal mengacu pada sikap dan pendapat dari profesional yang paham tentang hukum, maka dapat dimengerti bahwa budaya hukum internal lebih mudah dimengerti sehingga memiliki kesadaran hukum yang lebih baik. Ketika pengacara, hakim dan pembuat undang-undang cenderung lebih terbuka terhadap pembangunan di luar negeri, maka sangatlah masuk akal untuk menempatkan mereka di baris terdepan dalam pemikiran hukum serta hal-hal lain yang dapat membuat mereka memiliki kemampuan yang sama, reformasi hukum. Sebaliknya, masyarakat umum dengan budaya hukum tingkat permukaan yang lebih rendah tingkat kesadaran hukum-nya, cenderung terlambat, baik dalam hal pemikiran hukum maupun reformasi hukum.
Dengan kata lain, para profesional bidang hukum—dengan budaya hukum internal yang lebih tinggi tingkat kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat menjadi pemimpin-pemimpin perubahan hukum dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat umum—dengan budaya hukum pada tingkat permukaan yang lebih rendah kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat mengikutinya, meski kadang yang terjadi adalah penolakan terhadap suatu perubahan karena mereka memang enggan untuk berubah.
Konsep kembar saya tentang kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness) dapat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya dalam mengidentifikasi elemen-elemen budaya hukum. Satu pendekatan alternatif adalah analisa budaya hukum melalui ‘budaya keluarga’ (misal budaya hukum orang-orang Barat, Asia, Islam, dan Africa).92 Berdasarkan pendekatan ini, apa yang membuat sebuah keluarga memiliki nilai budaya yang unik dibandingkan keluarga lain adalah faktor rasional-irasional dan faktor individualisme-kolektivisme. Dalam nilai budaya suatu keluarga, apa yang membuat sistem hukumnya berbeda dengan yang lain adalah ‘kebersaman pemahaman (shared understandings)’ yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Kebersamaan pemahaman (shared understandings) ini meliputi konsep masyarakat tentang hukum, teori penalaran hukum, metodologi hukum, teori argumentasi, teori legitimasi hukum, serta pandangan mendasar tentang dunia.93
Namun demikian, secara keseluruhan ada dua hal dalam pengamatan Saya yang membuat penggunaan nilai budaya keluarga kurang begitu membantu dalam usaha ini. Pertama, cakupan nilai budaya keluarga terlihat terlalu luas. Misalnya, dalam masyarakat Asia, terdapat begitu banyak budaya hukum yang berbeda. Kadang-kadang, dalam satu negara Asia—seperti Indonesia—bisa saja terdapat sejumlah budaya hukum. Untuk mengumpulkan berbagai macam budaya hukum yang berbeda dalam satu payung ‘budaya hukum Asia’ jelas akan mematahkan tujuan analisis hukum lintas budaya.94 Kedua, usaha ini kurang begitu memuaskan karena terkesan sangat ke-Barat-barat-an dimana faktor-faktor yang memuat kebersamaan pemahaman (shared understandings) dalam suatu masyarakat mungkin menjadi tidak relevan bagi masyarakat lain. Misalnya, seseorang mungkin ragu apakah budaya hukum masyarakat Jawa memiliki teori argumentasi atau memiliki kebersamaan pemahaman (shared understandings) terhadap suatu permasalahan.95
Pendekatan lainnya terhadap analisa elemen-elemen pokok budaya hukum adalah dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan eksplisit dan implisit. 96 Menurut pandangan ini, lapisan eksplisit terdiri dari kenyataan yang dapat diamati seperti mode pakaian atau bahasa dari suatu masyarakat. Lapisan implisit terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar berkaitan dengan pandangan mereka tentang dunia. Jadi, pemahaman terhadap lapisan implisit atau budaya sangatlah penting karena disini-lah terdapat ‘serangkaian aturan dan metode yang telah dikembangkan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.’ 97
Pendekatan terhadap budaya hukum dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan ternyata sesuai dengan pendekatan saya yang menggunakan konsep gagasan kembar, kebiasaan hukum dan kesadaran hukum. Budaya eksplisit mengacu pada kebiasaan hukum sedangkan budaya implisit mengacu pada kesadaran hukum. Lebih penting lagi, kedua pendekatan tersebut menyatakan bahwa budaya implisit (atau kesadaran hukum), ketika dihadapkan dengan isu-isu moral atau dilema lain yang melibatkan pengambilan suatu keputusan, ternyata memiliki kemampuan untuk mengevaluasi budaya eksplisit (atau kebiasaan hukum) dan pada akhirnya membuat suatu perubahan yang penting.
2. Model Kerja
Apa yang terjadi jika model sistem hukum Friedman, dimodifikasi dengan memasukkan elemen-elemen kebiasaan hukum dan kesadaran hukum, kemudian disejajarkan dengan taksonomi Mattei serta pendekatan evolusioner terhadap hukum dan pembangunannya seperti yang telah dibahas pada awal bab ini? Menurut Saya, hal ini akan menciptakan sebuah model yang sederhana namun tepat guna tentang bagaimana suatu sistem hukum berubah dalam suatu cakupan yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik dan kerangka sosial yang melekat dalam sistem hukum tersebut. Lebih jelasnya, model seperti ini mencermati empat implikasi penting berkaitan dengan hubungan antara hukum dan pembangunannya.
Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang sebenarnya; dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma yang dimilikinya menciptakan norma hukum’.98 Usaha-usaha untuk mengubah tingkah laku dengan mengubah lembaga hukum atau hukum itu sendiri, jika tidak didukung perubahan dalam budaya hukum hanya akan bertahan sebentar dan tentu saja sia-sia. 98
Yang menarik perhatian, setelah melakukan survey tentang pembangunan ekonomi manusia, Landes berjalan dalam suatu jalur paralel ketika dengan tepat ia menyimpulkan:”Jika kita belajar dari sejarah pembangunan ekonomi, maka, budaya lah yang membuat semua berbeda.” 100
Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat dari semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan bahwa nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi masyarakat. Hal ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya berkaitan dengan hak indvidu dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama seperti status dan sistem patriarchal. Hal ini dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan budaya hukum internal. 102 Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat dengan mudah diadaptasi dan diimplementasikan.
Implikasi ketiga adalah perubahan-perubahan dalam kesadaran hukum yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan sosial. Friedman mengerti akan hal ini ketika ia menyatakan bahwa budaya hukum ‘adalah suatu variabel yang aling terkait. Kekuatan sosial membuat hukum, tetapi mereka tidak membuat nya langsung…’ 103 Maka, di satu sisi kesadaran hukum merubah budaya hukum, budaya hukum merubah sistem hukum, dan sistem hukum mempengaruhi sistem sosio-ekonomi dan politik dalam cakupan yang lebih luas. Dan di sisi lainnya, tekanan sosio-ekonomi dan politik sangat mempengaruhi kesadaran hukum.
Pandangan ini sesuai dengan pendekatan Weberian terhadap hukum dan masyarakat yang mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial. 104 Secara khusus, dampak tekanan terhadap kesadaran hukum dari para elit profesional hukum sangatlah penting karena para elit-lah yang biasanya menjadi pemimpin dalam membentuk budaya hukum masyarakat. Harus pula dicatat bahwa agenda politik dari mereka yang memegang kekuasaan—yang mungkin tidak sama dengan para elit hukum—akan menentukan pengaruh eksternal mana yang akan dijabarkan kedalam perubahan-perubahan nyata dalam kesadaran hukum.
Implikasi keempat adalah bahwa pendekatan Weberian menyatakan, selama ini pembangunan eksternal dalam bidang ekonomi, politik dan sosial dapat mempengaruhi kesadaran hukum suatu masyarakat terhadap penerimaan yang lebih besar akan sistem hukum yang lebih rasional. Hal ini memberi jalan bagi pandangan Weber atas masyarakat yang berpandangan rasional terhadap hukum yang selama ini didomonasi oleh birokrasi yang kuat.
Perubahan yang serupa juga dijelaskan oleh Kamenka-Tay sebagai suatu konfrontasi antara gemeinschaft, gessellschaft dan paradigma birokrasi administratif. Intinya adalah bahwa pendekatan Kamenka-Tay tidak menjelaskan bagaimana konfrontasi antara ketiga kekuatan itu akan dimainkan. Tetapi model saya menjelaskan hal ini. Model pendekatan milik saya menjelaskan bahwa faktor penentunya adalah kesadaran hukum dalam suatu masyarakat. Jika jumlah kesadaran hukum bersimpati terhadap intrinsik, memegang teguh norma tradisional, maka paradigma gemeinschaft akan mendominasi; jika berganti dan menjadi lebih bersimpati terhadap liberalisme klasik Barat atau pemikiran tentang birokrasi negara yang kuat, maka gessellschaft atau paradigma birokrasi administratif yang sebaliknya akan mendominasi.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, saat ini sangat mungkin untuk menggambarkan hubungan antara struktur hukum, hukum itu sendiri dan budaya hukum—termasuk juga kebiasaan hukum dan kesadaran hukum—dalam suatu sistem hukum tertentu, begitu pula dengan dampak dari faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik dan sosial terhadap sebuah sistem. Hal ini dapat dilihat pada Diagram 1 di bawah ini.
Diagram 1.
Jika elemen-elemen penting dari model ini benar, maka elemen itu mendukung pandangan Friedman bahwa budaya hukum adalah elemen sistem hukum yang paling penting. Model tersebut menjelaskan bahwa dalam budaya hukum, kebiasan hukum mendominasi sikap-sikap yang saat ini ada terhadap hukum. Namun demikian, kesadaran hukum-lah yang menentukan arah dan kecepatan pergerakan budaya hukum terhadap waktu.
Kesimpulan ini memiliki satu pelajaran kritis bagi mereka yang tertarik terhadap fenomena hukum dan pembangunannya. Jelasnya, formulasi hukum yang baru dan reformasi pada lembaga hukum akan tidak efektif tanpa adanya perbaikan yang sesuai dengan budaya hukum.
Dengan kata lain, selain sumber-sumber yang digunakan untuk membuat formulasi kebijakan, harus lebih banyak lagi sumber yang diarahkan bagi tujuan yang lebih luas bagi perbaikan budaya hukum masyarakat. Setiap proposal reformasi hukum untuk merubah hukum itu sendiri atau lembaga hukum haruslah menyertakan analisis dari aspek-aspek budaya hukum lokal yang akan mendukung perubahan tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan dan budaya hukum masih terus diangap sebagai aspek hukum yang tidak penting, maka resiko kegagalan akan sangat tinggi. Seperti kata Mary Hiscock, mantan guru hukum saya yang memiliki pengalaman tentang reformasi hukum di Asia:
Hukum adalah tanaman yang tumbuh dengan akar manusia, dan sangatlah penting untuk memberikan pendidikan bagi orang-orang agar mereka berubah. Jika yang dicari adalah hukum yang siap dibuat, ini dapat saja dibeli dari berbagi konsultan yang ada. Namun yang ada hanyalah hukum. Masyarakat masih saja melakukan hal yang sama dengan apa yang dulu sering mereka lakukan. Tidak ada perubahan. Ini adalah pelajaran bagi sejarah bangsa Asia
POLITIK DESENTRALISASI:
SATU ALTERNATIF PEMBENTUKAN LOCAL GOVERNMENT DI ACEH

Oleh :
Hendri Salahuddin


1. Pendahuluan
Falsafah politik bagi bangsa tertentu akan mencerminkan tata cara penyelenggaraan pemerintahan pusat di mana semua kekuasaan pengelolaan dan perencanaan negara dipusatkan. Ini bermakna pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang mutlak dalam menentukan maju mundurnya sebuah negara. Dalam kontek perencanaan pembangunan, maka perencanaan yang berbentuk sentralistik akan menentukan semua aktivititas perencanaan pembangunan yang ingin dilaksanakan
Pada tahap awal perkembangan ekonomi suatu bangsa, sebuah negara terbentuk dengan sifat-sifat kedaerahan, kesukuan, golongan politik yang berbeda ideologi, cita-cita, budaya dan lain-lain, maka pemusatan kekuasaan perlu demi untuk membentuk sebuah negara. Setelah ekonomi berkembang dan jumlah penduduk bertambah meningkat, maka idiperlukan aktivitas pembangunan yang lebih luas dalam bentuk sistem desentralisasi untuk pengelolaan sebuah negara. Keperluan ini ditambah pula oleh faktor-faktor geografi dan kebudayaan masyarakat yang berbeda memerlukan bentuk-bentuk pengurusan negara yang lebih khusus terutamanya diperingkat daerah
Disamping pelaksanaan desentralisasi , negara juga perlu untuk melibatkan rakyat dalam setiap program pembangunan negara, sebagai tanda bahwa program pembangunan yang dilaksanakan adalah untuk memberikan berbagai pelayanan dan kemudahan kepada rakyat. Untuk mendapat faedah ini rakyat perlu dilibatkan secara langsung dalam semua tingkatan kebijakan perencanaan pembangunan. Dalam sistem sentralisasi rakyat sering dijadikan penonton dalam pembangunan. Rakyat tidak tahu dan tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan segala kebijakan negara. Rakyat dengan negara mempunyai jarak, negara sibuk dengan dinamikanya sendiri dan berbicara dengan bahasanya sendiri, yang kian hari tidak akan pernah dimengerti oleh rakyat
Keterpisahan dimensi negara dan rakyat jelas merupakan suatu faktor yang sangat tepat untuk melihat adanya praktek anti demokrasi disebuah negara. Kejadian ini sebenarya lebih merupakan sesuatu keadaan yang sengaja ciptakan oleh para elit negara. Negara sengaja meninggalkan rakyat dalam segala perencanaan serta pengambilan kebijakan negara yang hendak laksanakan disesuatu wilayah. Hal ini jelas menunjukan indikasi praktek sistem totalitarianisme yang dilaksanakan oleh sebuah negara untuk kepentingan pribadi sebuah rezim dengan membangun sebuah sistem sentralistik. Hannah Arendt (1995) menjelaskan, dilihat dari segi struktural, model yang sentralistik di mana wujudnya praktek totalitarianisme dapat dilihat dari beberapa faktor, pertama, terjadinya legitimasi dengan sangat mudah terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) atas nama tujuan ideologi dengan simbol demi pembangunan dan kesuksesan bangsa. Kedua, monopoli informasi dengan alasan bahawa kerajaan atau pemerintahan tahu lebih baik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibaca, ditonton dan didiskusikan oleh rakyat. Ketiga, adanya pembatasan organisasi-organisasi rakyat pada organisasi-organisasi resmi dan ini bisa menimbulkan praktik korporatisme negara
Menurut Dryzek dalam Demokrasi in the Policy Sciences Aspirations and Operation, Policy Studies Journal, Vol.22 No.1 1994, kebijakan serta keputusan politik dalam satu negara yang menganut sistem sentralistik sangat didominasi atau dikontrol oleh penguasa elit yang berkuasa sehingga praktek membatasi aspirasi dan keinginan rakyat lebih banyak digunakan. Kegusaran dan kebimbangan Dryzek memang sudah menjadi suatu kenyataan. Untuk negara-negara maju hal ini sudah mulai dikurangkan sejak lima puluh tahu yang lalu. Ketika mazhab Frankfurt mengagas teori kritiknya misalnya, Horkheimer dan kawan-kawannya yang membuat kajian terhadap elit politik. Menurut mereka, elit politik lebih sering melakukan penghisapan-penghisapan keberadaan rakyat daripada memberdayakannya. Untuk itulah Habermas menggagas konsep politik desentralisasi yang lebih menjanjikan terciptanya ruang dialog terbuka bagi negara dan rakyatnya (Fadillah Putra 1999:3)
Negara yang menganut sistem sentralistik, keterlibatan aktif masyarakat bawah dalam proses politik sering terhalang oleh struktur yang lebih tinggi dan tidak di namis (beku). Hal ini terjadi karena memang sistem politik yang sentralistik sangat memungkinkan terciptanya sebuah kondisi di mana negara makin meninggalkan rakyat. Praktek-praktek penghalangan terhadap keterlibatan rakyat yang dilakukan oleh negara sentralistik merupakan praktik anti demokrasi, sebagaimana kajian yang dilakukan Dennis A.Rondinelli yang membagi praktek anti demokrasi tersebut dalam beberapa bahagian. Pertama, rencana-rencana pemerintah tidak diketahui oleh rakyat di tingkat bawah, padahal bila kita melihat pendapat De Janvry (1999), setiap tindakan pemerintah itu berkenaan dengan kepentingan rakyat. Bila rakyat sudah tidak mengerti akan apa yang sedang dilakukan pemerintahnya, maka pada saat yang bersamaan telah terjadi pengingkaran terhadap kehendak rakyat oleh pemerintah (penguasa). Kedua, lemahnya dukungan elit lokal. Elit lokal merupakan institusi reprentasi alternative atas keberadaan rakyat disamping institusi formal semacam legislatif. Elit lokal ini memiliki basis legitimasi yang cukup kuat atas statusnya sebagai wakil rakyat
Dalam iklim sentralistik pendapat-pendapat elit lokal ini sangat terabaikan kecuali mereka memiliki hubungan ke kerajaan pusat, ini persoalan lain. Padahal dengan kuatnya kepercayaan rakyat terhadap mereka, seharusnya menjadikan pendapat elit lokal ini tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kerangka demokrasi. Ketiga lemahnya hubungan pemerintah daerah dengan masyarakat. Keempat tidak dapat memotong Red Tape prosedur politik dan adminitrasi yang panjang. (Fadillah Putra 1999:6-7)
Oleh karena itu, untuk menghilangkan praktik “sistem sentralistik” disebuah negara yang menamakan dirinya menganut sistem demokrasi, maka perlu ditekankan pelaksanaan sistem politik desentralisasi dalam segala perencanaan dan kebijakan negara atau pemerintah. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kehendak rakyat baik berkaitan dengan aspek politik, kebudayaan, ekonomi dan pentakbiran sebuah negara. Penekanan ini penting kerana menyangkut dengan perkembangan negara dan terdapatnya saling ketergantungan pelaksanaan kegiatan di daerah-daerah yang mendukung kepentingan nasional. Pengamalan praktek politik desentralisasi memberi peluang kepada rakyat melibatkan diri dalam aktivitas pembangunan yang dirasakan sesuai dengan keadaan politik, sosial dan ekonomi sesuatu masyarakat setempat.

2. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah pelaksaaan politik desentralisasi dapat menwujudkan pemerintahan lokal (Local Government) dapat membuat keputusan sesuai dengan kepentingan wilayahnya
2. Apakah pelaksaaan politik desentralisasi dapat meningkatkan kemampuan pemerintah lokal dan memangkas rantai birokrasi yang berbelit belit untuk wujudnya sebuah Local Government

3. Ruang Lingkup
Desetralisasi, Demokrasi, Partisipasi rakyat, Local Governance

4. Teori Definisi Konsep
Beberapa penulis telah membuat kajian mengenai pelaksanaan politik desentralisasi dibeberapa negara. Analisa dari Mathur, Nelis, dan Harris menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin politik dan pengelola adminstrasi dalam tiap-tiap negara mempunyai alasan tersendiri untuk melaksanakan desentralisasi. Politik desentralisasi dilaksanakan untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan antara wilayah. Pengamalan politik desentralisasi dalam pengelolaan dan perencanaan negara telah menghasilkan beberapa hasil yang positif. Kejayaan dan pencapaian kesuksesan pelaksanaannya dapat ditinjau dalam banyak segi. (Dennis A.Rondinelli 1983:296)
Secara umum definisi politik desentralisasi sering dimaksudkan sebagai pemindahan perencanaan, pengambilan keputusan atau pembahagian wawenang kekuasaan dari pemerintahan pusat kepada cabang-cabang organisasinya, unit pengelola administrasi lokal, pemerintahan lokal ataupun organisasi non pemerintahan. Jadi wujudnya pengalihan kekuasaan pemerintah pusat kepada pihak pengelola administrasi yang lebih rendah yaitu di tingkat provinsi, tingkat kabupaten dan seterusnya. Hal ini telah terciptanya pemerintahan lokal yang menjalankan pemerintahan berdasarkan wewenang pemerintah pusat .
Politik desentralisasi merupakan berlakunya proses pemindahan kekuasaan, perundangan, kehakiman atau pengelolaan negara dari peringkat tertinggi pemerintahan kepada peringkat yang lebih rendah . Ini bermakna pemerintahan lokal mempunyai hak dan kuasa untuk melaksanakan bidang-bidang yang telah ditetapkan. Dengan kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat tersebut, maka pemerintah lokal menjadi lebih efektif. Kecakapan, dan kebijaksanaan aparatur pemerintahan lokal akan membantu pelaksanaan dasar-dasar strategi dan program-program pembangunan yang telah tetapkan oleh kerajaan pusat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan desentralisasi sebagai satu tindakan yang sesuai untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Yang penting adalah sesuatu perencanaan pembangunan hendaklah meliputi seluruh kawasan, kabupaten, kecamatan, kemukiman dan desa (Gampong) di mana saja rakyat tinggal. Perencanaan pembangunan yang lebih menyeluruh akan lebih bermanfaat kepada rakyat. Mereka akan dapat menikmati hasil pembangunan walaupun dimanapun mereka berada (United Nation 1961:63)
Desentralisasi merupakan sebagai usaha untuk memindahkan kekuasaan dari peringkat tertinggi kekuasaan (pemerintah pusat) kepada pemerintahan lokal. Namun demikian tidak semua kekuasaan membuat keputusan itu diserahkan kepada pemerintahan lokal. Misalnya perencanaan fiskal, moneter dan keselamatan sesuatu negara tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat .
Pelaksanaan politik desentralisasi akan melahirkan para pengelola negara yang efisien. Tentu saja mereka lebih jelas mengetahui kebutuhan masyakat lokal. Maddick, menjelaskan sudah pasti pemerinthan lokal merupakan pihak yang paling dekat dengan rakyat. Secara tidak langsung ia berwibawa untuk bertindak sebagai penghubung antara pemerintahan pusat dengan rakyat. Tindakan untuk memperbiki segera dapat diambil sekiranya terjadi masalah ketika pelaksanaan. Itulah sebabnya perencanaan diperingkat Kabupaten dan Provinsi diutamakan dan ianya menjadi komponen penting dalam strategi pembangunan negara .
Selain dari itu, pelaksanaan politik desentralisasi juga dapat memperbaiki ketajaman perencanaan dan pengurusan di dalam birokrasi pusat dalam rangka menyelesaikan masalah sosial, ekonomi dan politik negara. Menurut Friedman, politik desentralisasi dapat mengurangi beban tugas yang terpaksa ditanggung oleh pemerintah pusat melalui penyerahan kekuasaan dan tanggungjawab kepada unit-unit pengelola pemerintahan lokal. Dengan itu kerajaan pusat dapat lebih memfokuskan perhatian yang lebih baik kepada masalah-masalah utama negara disamping upaya memperbaiki pertumbuhan ekonomi negara demi kemakmuran rakyat. Sebagai contoh adalah dikawasan pedalaman Asia dan Afrika Timur, taraf hidup rakyat telah meningkat secara signifikan dengan adanya sistem politik desentralisasi. Peranan birokrasi lokal telah meningkat dan menjadi alat pressure kepada agensi-agensi kerajaan untuk mendapatkan sumber keuangan bagi pembangunan wilayah masing-masing
Terdapat empat bentuk politik desentralisasi yang di jalankan dalam sesebuah negara: Pertama adalah Deconcentration, yaitu pembagian wawenang kekuasaan membuat sesuatu keputusan berkaitan dengan pengelolaan administrasi kepada unit-unit organisasi pengelola lain atas nama pemerintah pusat. Dimaksudkan disini adalah pembagian tanggungjawab dan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan lokal. Walupun begitu unit-unit pengelola lokal ini tidak diberikan kekuasaan sepenuhnya dalam banyak hal. Unit-unit pemerintaah lokal ini hanyalah merupakan alat pelaksana tugas-tugas pemerintahan pusat yang perlu dilakukan di sesuatu wilayah atau daerah tertentu. Dengan demikian pelaksanaan Deconcentration di sini bermakna tiadanya pemindahan kekuasaan dalam membuat keputusan-keputusan penting mengenai sesuatu perkara. Kementerian diperingkat pusat masih berkuasa penuh dalam membuat sesuatu keputusan mengenai kebijakan lokal .
Menurut James W.Falser, Deconcentration bermaksud pembahagian tugas kepada unit-unit pelaksana lokal. Dengan adanya pembahagian tugas tersebut akan memudahkan pemerintahan pusat. Pada masa yang sama akan memudahkan pemerintahan lokal mengambil peranan untuk meringankan beban rakyatnya. Walupun begitu pemindahan tugas ini tidak memperlihatkan pemindahan kekuasaan dalam arti kata yang sebenarnya. Deconcentration tidak memberikan peluang kepada unit-unit pemerintahan lokal untuk memilih dan membuat keputusan dalam semua bidang pengelolaan dan pembangunan. Pegawai-pegawai lokal atau daerah yang mewakili kementerian-kementerian pemerintah pusat hanya mempunyai wibawa terbatas dan melaksanakan tugas di bidang masing-masing . (James W.Falser 1968:373)
Bentuk politik desentralisasi yang kedua adalah Devolution, Istilah ini menjadi terkenal di negara Amerika Serikat pada tahun 1994, yang dipolulerkan oleh Richard P. Nathan dengan istilah Revolusi Devolusi. Sebenarnya, secara konseptual Devolution sudah ada sejak 2 dekade yang lalu. PBB misalnya pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi sebagai dekonsentrasi disebut juga desentralisasi administrasi. Dan devolusi sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wawenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Devolusi sering juga dikaitkan dengan pelaksanaan konsep pemberian Otonomi , sebagaimana dijelaskan oleh Bintoro Tjokromidjojo (1974:120), melalui konsep ini kekuasaan membuat sesuatu keputusan utama terletak di tangan majlis per-undang-undangan pemerintah lokal. Pemerintah lokal mempunyai kekuasaan untuk membuat keputusan dalam bidang-bidang tertentu namun dibatasi oleh peraturan-peraturan nasional
Sedangakn Fadillah Putra (1999:75) menjelaskan devolusi adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independen. Pemerintah pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan baru yang otonom dan berada diluar kontrol langsung pemerintah pusat. Cirinya adalah unit pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri, kewenangan pemerintahan pusat tidak besar dan pengawasannya tak langsung, pemerintah lokal memiliki status dan legitimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen
Dengan demikian, devolusi akan membolehkan suatu unit administrasi pemerinatahan lokal untuk membuat keputusan tertentu dengan segera tanpa harus merujuk kepada pemerintah pusat. Kekuasaan membuat keputusan oleh para penguasa lokal ini amat penting bila melihat betapa rumitnya membuat sesuatu keputusan yang harus melalui rangkaian birokrasi yang panjang dalam pemerinth pusat. Ini tentu pemborosan waktu, dana dan tenaga yang telah diperuntukan untuk sesuatu projek pembangunan
Politik desentralisasi yang ketiga adalah Delegation. Menurut konsep ini, tugas eksekutif atau organisasi diserahkan kepada organisasi yang lain.Tugas-tugas pemerintahan dalam kementerian pusat diserahkan kepada pemerintahan di daerah untuk untuk diselenggarakan. Dengan cara ini terjalinlah kejasama yang erat antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat demi untuk memudahkan pelaksanaan tugas-tugas tertentu. Pendelegasian yang demikian itu akan mengurangi beban tugas pejabat-pejabat pemerintah pusat
Bentuk desentralisasi yang keempat atau yang terakhir adalah privatization atau pewiraswastaan. Bentuk desentralisasi ini merujuk kepada bentuk-bentuk kegiatan yang ditentukan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah tetapi dilakukan oleh masyarakat setempat. Ini bermakna penyertaan masyarakat dalam aktivitas-aktivitas yang penting. Dalam konsep pewiraswastaan ini juga dikatakan sebagai organisasi jabatan-jabatan pemerintahan yang dikendalikan oleh swasta. Yaitu kewenangan diserahkan kepada swasta untuk melaksanakan aktivitas tertentu, bila wakil pemerintah yang ditugaskan itu menghadapi masalah seperti masalah pelayanan dan masalah kekurangan dana penunjang. Diantara contoh program yang dilaksanakan oleh masyarakat tempatan adalah seperti program pembangunan masyarakat desa, koperasi dan lain sebagainya
Sementara itu kajian terhadap negara-negara Asia menunjukkan masih terdapat ketergantungan yang kuat pemerintahan lokal terhadap pemerintah pusat . Juga terdapat program inovasi dilaksanakan tanpa menghubungkan organisasi yang telah mendapat dukungan politik dengan sumber keuangan. Seterusnya penguasa tidak memberi peluang kepada pemerintah lokal untuk melaksanakan fungsi yang baru dalam usaha memenuhi keperluan rakyatnya. Kajian di Algeria, Libya, Tunisia dan Magribi pula menunjukkan prestasi dan kesan langsung yang wujud tidak sesuai dengan kebijakan desentralisasi yang dilaksanakan. Kawalan ke atas sumber keuangan oleh pemerintah pusat masih sangat berkesan, organisasi tempatan dan wilayah masih kekurangan pegawai yang punya kualitas. Oleh yang demikian, organisasi sukar meningkatkan pembangunan politik dan tindakam mereka hanya semata-mata meneruskan kepentingan kerajaan pusat (Rondinelli dan Mathur 1983 : 9)
Memang pada umumnya pelaksanaan politik desentralisasi di banyak negara manapun di dunia menghadapi masalah dari segi ketidakmampuan pemerintah lokal untuk mengorganisir partisipasi politik. Hal ini disebabkan penguasaan sumber keuangan masih ditangan pemerintah pusat, sehingga menyebabkan keuangan sukar dimobilisasikan. Akibatnya pemerintahan lokal hanya mirip untuk meneruskan kepentingan-kepentingan pemerintah pusat ketimbang untuk kepentingan dirinya sendiri. Keadaan ini juga disebabkan pemerintahan lokal kekurangan tenaga ahli. Kajian yang dibuat di negara Asia sebagai contoh, di mana dukungan pegawai pemerintahan lokal terhadap pelaksanaan sistem desentralisasi sangat menyedihkan. Keadaan ini telah menjatuhkan kewibawaan penguasa lokal. Campur tangan politik tidak dapat dielakkan walaupun disentralisasi begitu ideal. Namun hal ini amat dilematis, sebagaimana analisa yang di buat oleh Mathur memperlihatkan bagaimana percaturan politik telah menggugat keberadaan desentralisasi. Pemimpin-pemimpin lebih cenderung untuk menjadikan desentarlisasi sebagai alat mendapatkan dukungan demi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya sendiri. Bila desentraliasi dapat menguatkan pengaruh politik maka segera akan di laksanakan sekaligus dan di undang-undangkan

5. PEMBAHASAN
A. Politik Desentralisasi dan Partisipasi Rakyat
Membicarakan konsep “rakyat” sebagai sebuah istilah dalam ilmu kebijakan atau politik memang agak sulit. Sering kita mendengar orang membicarakan masalah kerakyatan, lalu sebahagian orang mempertayakan rakyat mana yang dibicarakan?. Seorang aktivis partai tentu mengatakan bahwa partainya berjuang demi rakyat. Yang selalu menjadi pertanyaan adalah; rakyat mana yang diperjuangkannya?. Rakyat seringkali kali menjadi objek, sebaliknya mereka tidak pernah merasakan bahwa seseorang, sekelompok atau partai tertentu telah berjuang untuk mereka. Dengan kata lain, rakyat tidak pernah merasakan telah memberi kepercayaan kepada seseorang atau partai tertentu untuk mengatasnamakan mereka
Dalam kajian kebijakan publik, istilah “rakyat” juga sering disebut dengan beberapa istilah lain seperti stakehorder, target group, atau Intended group. Istilah-istilah tersebut mengacu pada pengertian aktor, orang atau pihak yang berhak membuat kebijakan. Kalau kita mencoba untuk memperhatikan karakteristik segala kebijakan publik, maka dalam konsep tersebut salah satu ciri yang harus tetap ada dalam suatu pengertian kebijakan publik yaitu suatu kebijakan tersebut selalu ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian dapat dikatakan rakyat merupakan objek atau sasaran suatu kebijakan. Rakyat merupakan objek yang langsung atau tidak langsung akan mendapat pengaruh dari suatu implementasi kebijakan. Dengan lain perkataan rakyat adalah sasaran yang merasakan langsung akibat-akibat atau dampak dari hasil akhir kebijakan atau policy outcome.
Dengan demikian, pentingnya penglibatan rakyat dalam segala kebijakan pemerintahan memang tidak dapat dinafikan dan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk membangkitkan rasa memiliki rakyat terhadap segala aspek kebijakan dari pemerintah. Oleh karena itu dorongan harus diberikan oleh pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Kajian oleh Freire dan Illiah, Stoke dan Boyle (1987:3) menunjukan penglibatan rakyat merupakan suatu proses kesadaran untuk pembangunan dan dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah pembangunan. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat dapat menyuarakan masalah-masalah dan keperluan-keperluan mereka yang akan disesuaikan dengan program kebijakan pembangunan. Fokus utama perencanaan seharusnya untuk memenuhi hak azasi manusia dan penglibatan rakyat bertujuan untuk kemajuan ekonomi dan perubahan sosial . (Freire dan Illiah 1987:3)
Konsep partisipasi (involvement) atau penglibatan rakyat mengandung maksud rakyat melibatkan diri dalam program-program pembangunan yang dilaksanakan tetapi tidak meliputi elemen-elemen seperti pemahaman dan komitmen. Penyertaan adalah lebih pada aspek pisik tanpa adanya asimilasi dari segi mental, yaitu merupakan satu konsep global yang memungkinkan melibatkan orang secara perseorangan atau satu perkumpulan tertentu. Penyertaan adalah lahir dari penerimaan dan asimilasi serta komitmen dari tokoh-tokoh masyarakat kepada sesuatu perkara. Baik itu dikalangan tokoh-tokoh itu sendiri atau badan-badan tetap yang mewakili tokoh-tokoh dalam hubungan dengan pihak pemerintah. Tugas utama organisasi tersebut ialah menjadi perantara diantara tokoh masyarakat dengan pemerintah disamping menjadi alat pemerintah dalam usaha-usaha implementasi program pembangunan . Selain dari itu pentingnya penglibatan tokoh-tokoh masyarakat dapat diteruskan melalui organisasi itu (Aznan Abdul Razak 1980)
Penglibatan dan penyertaan rakyat juga dapat dilihat dalam konteks tuntutan dan dukungan yang diberikan terhadap sesuatu proyek pembangunan. Apa yang dimaksudkan dengan tuntutan termasuklah kemauan rakyat dan kelompok dalam masyarakat untuk mencapai kebaikan baik dari segi pendidikan yang lebih baik, partisipasi dalam politik, menikmati taraf hidup yang lebih tinggi dan sebagainya. Dukungan juga dimaksudkan sebagai dukungan yang diberikan oleh rakyat dalam arti kata mereka semua menganggap dukungan rakyat kepada negara. Dengan adanya perasaan taat setia terhadap negara, barulah pemerintah dapat melaksanakan berbagai perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan (Abdullah Sanusi Ahmad 1970:3)
Dengan demikian, pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan akan dapat meningkatan kemajuan ekonomi dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Perencanan pembangunan yang efektif akan dapat membantu mencapai kondisi tersebut walaupun sesuatu rancangan pembangunan pasti akan menghadapai masalah-masalah dan halangan-halangan tertentu. Melihat kesulitan dan ketidaktentuan dalam proses pembangunan terutamanya yang direncanakan dan diawasi oleh pemerintah pusat maka dirasakan perlu dilaksanakan desentralisasi dalam perencanan dan pengelolaan. Pelaksanaan desentralisasi mempunyai beberapa tujuan tertentu sehingga banyak pemerintah di negara yang sedang berkembang melaksanakan desentralisasi. Selain dari itu pengelolaan administrasi pemerintahan secara desentralisasi tersebut memberi peluang kepada masyarakat untuk turut serta dalam membuat keputusan atau dalam perencanaan pembangunan atau penglibatan rakyat dalam proyek-proyek yang dilaksanakan
Jadi dengan adanya penglibatan rakyat akan membawa kepada wujudnya persamaan dalam pembahagian sumber keuangan dari pemerintah. Dengan ini semua golongan dapat menggunakan dan menikmati infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Secara tidak langsung taraf hidup dan kesejahteraan sosial rakyat dapat ditingkatkan. Pada masa yang sama aktivitas-aktivitas ekonomi desa seperti pertanian, industri kecil, dan kerajinan tangan dapat berkembang dengan pesat dan sistem pengangkutan dapat disempurnakan. Hasil-hasil produksi dapat dipasarkan dengan cepat ke kawasan di mana permintaan produk tersebut cukup tinggi terutamannya di bandar-bandar. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Emil J.Sody (1967:75), politik desentraliasi bertujuan untuk melatih rakyat dalam mengurus dan mengelola sesuatu perencanaan pembangunan. Ini bermakna rakyat tidak perlu terlalu bergantung kepada pemerintah pusat dalam pengelolaan pembangunan. Proses desentralisasi memberi peluang kepada rakyat untuk meningkatkan kecakapan mereka dalam mengendalikan pemerintahan sendiri (Self Government) . Oleh sebab itu kemajuan atau kegagalan dan pengelolaan pembangunan adalah bergantung kepada kecakapan dan kemahiran pengurusan mereka sendiri.
Berdasarkan pembahasan diatas sehingga dapat dibuat sebuah perwujudan alternatif politik desentralisasi dan dapat diambil untuk diterapkan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Aceh sehingga akhirnya dengan kemauan politik yang kuat dapatlah dibuat sistem sosial budaya dan politik masa depan Aceh yang berpihakan kepada arah politik desentralisasi berbentuk self goverment di Aceh.

B. Format Sistem Sosial Budaya dan Politik Masa Depan Aceh
Erman Anom (2006) menyebutkan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk tercapainya format kehidupan sosial budaya dan politik masa depan Aceh, yaitu mewujudkan sistem sosial budaya, dan politik sebagai berikut: Pengurusan atau pemerintahan Gampong (desa), Mukim, Daerah, Nanggroe. Pembaharuan ketata-negaraan Aceh sangat diperlukan sebagai landasan pijakan dalam mengelola pemerintahan dengan semangat dan tujuan self goverment yang dimilikian
Pengurusan atau pemerintahan Gampong (desa).Pengurusan dan pemerintahan Gampong terdiri atas tiga unsur yaitu:
Keuchik (kepala desa) dibantu oleh seorang atau beberapa orang wakil (wakil), Teungku (imam), Ureueng tuha. Keuchik ialah pemimpin atau bapak gampong, yang menerima wewenangnya dari masyarakat gampong. Jabatan ini sama halnya dengan seluruh jabatan di Aceh Indonesia adalah jabatan yang dipilih dalam muafakat oleh masyarakat gampong. Keuchik pada hakikinya bahwa dialah yang membela kepen-tingan dan keinginan warga gam-pongnya, baik berhadapan dengan gampong–gampong lainnya, ataupun terhadap tuntutan-tuntutan yang berlebih-lebihan dari warga gampong itu sendiri. Orang Aceh sering mangutip dalam rapat-rapat: ”keuchik” eumbah, teungku ma” yaitu keuchik ibarat bapak, teungku ibarat ibu.
Seluruh penduduk gampong yang cinta damai merasa yakin bahwa mutlak dibutuhkan seseorang yang berbicara dan berunding atas nama seluruh warga; apalagi seperti beraneka urusan keluarga (perkawinan, perceraian, pengasuhan anak yatim piatu, soal pindah rumah). Sumber pendapatan keuchik. Keuchik adalah jabatan kehormatan dan sebenarnya pendapatan yang akan diperolehnya menurut adat sungguh tak seberapa. Pendapatan itu terbatas hanya kepada apa yang disebut ”ha’ katib” atau ”ha’ cupeng”, yaitu imbalan untuk bantuan yang diperlukan dari keuchik itu untuk pernikahan warga gampongnya dan urusan-urusan lain yang berkaitan dengan urusan gampong.
Jabatan keuchik di Aceh, sebagai bapak warga gampongnya, dihargai tinggi, terutama karena sifat kehormatannya, namun juga karena keuntungan nyata yang terlekat pada jabatan ini. Sebagai bawahannya, yang secara nyata lebih banyak membantu keuchik itu dibandingkan warga gampong lainnya, ialah wakilnya yaitu wakil atau kuasanya. Setiap keuchik paling tidak dibantu oleh seorang wakil. Wewenang Keuchik. Kewajiban keuchik dengan bantuan punggawa (staf) gampong lainnya yang setiap waktu dapat dipanggil untuk diberi tugas, untuk memelihara tertib-aman, serta juga mengusahakan kesejahteraan penduduk sepenuh kemampuannya.
Teungku. Teungku adalah ”ibu” warga gampongnya. Teungku adalah gelar yang diberikan umumnya di Aceh kepada orang yang mengemban jabatan yang berkaitan agama atau yang berbeda dari penduduk awam umumnya kerana lebih sempurna pengetahuan agamanya atau pun lebih khusyuk menunaikan ibadah. Sebagai teungku meunasah selayaknya bagi ”ibu gampong” itu menjadi kewajiban menjamin agar ”gedung meunasah” (wilayah kekua-saanya) itu sesuai keadaannya dengan tujuan keagamaannya. Namun hal ini jarang terjadi, dan dalam keadaan langka terjadinya itu; ini lebih banyak diaki-batkan oleh salehnya bapak keuchik daripada ketekunan kerja si ibu teungku itu. Dalam pemerinthan gampong di Aceh teungku tugasnya mengurusi urusan keagamaan warga gampong. Sedangkan sumber penghasilan teungku dari Pitrah (fitrah), zakeuet (zakat), Imbalan uang untuk pengurusan pernikahan, ha’ teuleukin (uang talkin), persengketaan warga gampongnya.
Ureung Tuha (tokoh masya-rakat). Kaum ureueng tuha, yang tepat setara dengan yang disebut orang tua di kalangan kita, adalah kaum yang berpengalaman, kebijaksnaan, bersopan-santun dan cukup berpengetahuan tentang hal adat dalam suatu gampong. Jumlah anggota dewan ureueng tuha itu tidaklah tentu; dan para anggotanya bukanlah diangkat tetapi dipilih atas kesepakatan bersama. Keanggotaan ureueng tuha kerana diakui kebijakannya, pengalamannya atau pengetahuannya tentang adat, dengan sendirinya akan diakui orang sebagai warga ureueng tuha itu dan pendapatnya akan diindahkan pada dalam rapat mufakat .
Orang Aceh terkenal sebagai kaum mufakat. Persoalan-persoalan yang paling sepele pun dijadikan alasan untuk pertukaran pendapat yang ramai-ramai. Para kepala adat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang menyangkut dengan daerahnya serta warga daerahnya harus ada dan hadir pula beberapa orang tokoh yang dapat dianggap sebagai wakil dari golongan atau daerah bersangkutan, karena kalau lalai, maka keptusan mufakat tidak sah.
Mukim dan Adminitrasi Pemerintahannya. Di antara para pejabat gampong dengan penguasa daerah terdapat para imum (imam), yang mengepalai daerah mukim. Wilayah Aceh dibagi menjadi beberapa distrik yang diberi sebutan mukim dengan jabatan imeum sebagai kepala distrik. Lembaga ini timbul di Aceh kerana pengaruh kaum ulama dan tokoh-tokoh keagamaan.
Tujuan asli pembentukan mukim. Tujuan semula dapat dilihat dari penggunaan istilah mukim itu. Mukim ialah suatu istilah Arab, yang makna sebenarnya ialah penduduk suatu tempat. Hukum Islam, menurut mazhab Syafii yang unggul di tanah Aceh, menentukan bahwa untuk menegakkan jemaat hari jumat mutlak diperlukan kehadiran paling sedikit 40 orang mukim yang termasuk golongan penduduk bebas yang telah dewasa.
Di Aceh, mukim mempunyai peranan penting untuk mengkoodinir gampong-gampong agar berjalan sesuai dengan tatanan yang telah disepakati oleh musyawarah gampong, dalam peranannya mukim berlandaskan kepada nilai-nilai Islam. Imum mukim menjadi tokoh yang dapat diteladani oleh pemerintah gampong-gampong, untuk itu pengetahuan agama dan kepemimpinan sangat menjadi yang utama yang harus dimiliki oleh imeum mukim, kerana peranan yang dimainkan oleh imeum mukim selain memimpin pemerintahan dan juga menjadi pemimpin agama. Imum mukim dipilih oleh musyawarah masyarakat semukim yang anggota-anggotanya dari tetua gampong (keuchik), cerdik pandai, dan ureng tuha.
Daerah dan administrasi pemerintahannya. Para tetua daerah adalah yang dipertua di negeri masing-masing, dan merupakan kepala daerah par exellence (cerdik pandai), mereka mempunyai kekuasaan otonom. Dalam menjalankan peran dan tugas pemerintahan pengetua daerah di bantu oleh yang mengurusi administrasi pemerintah. Pengetuan daerah dipilih langsung oleh masyarakat lewat pemilu yang diadakan.
Nanggroe dan administrasi pemerintahannya. Kepala pemerintahan nanggro disebut wali nanggroe yang berperan dan mempunyai tugas sebagai koordinator pengetua-pengetua daerah. Wali Nanggroe dipilih oleh tetua-tetua daerah dan anggota parlemen daerah dan para utusan cerdik pandai dari golongan agama dan cerdik pandai dari golongan non agama dalam sebuah musyawarah. Dalam menjalankan kepemimpinannya wali nanggroe dibantu oleh kepala administrasi pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu.