Sharing Science

Ilmu Pengetahuan Harus di Sharing, Karena Ilmu Sangat Penting Untuk Diketahui oleh Orang Banyak

Kamis, 24 September 2009

HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945[1]

A. LATAR BELAKANG
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di ranah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.

beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu,tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Analisis kelemahankelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.

1. PENGERTIAN HAM
Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhannya bersifat imperatif (perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak itu wajib dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak.
 Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.
 Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat (Tilaar, 2001).
 Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah SWT (Mustafa Kemal Pasha).
 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia .
2. CIRI POKOK HAM
1. Hak asasi itu tdk diberikan/diwariskan melainkan melekat pd martabat kita sbg manusia.
2. Hak asasi itu berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, asal-usul, ras, agama, etnik, dan pandangan politik.
3. Hak asasi itu tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melangar hak orang lain. Orang tetap memiliki HAM meskipun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi bahkan melanggar hak asasi manusia.

3. SIFAT HAM
1. Individual: ‘melekat erat pada kemanusiaan seseorang’, bukan kelompok.(Generasi keempat HAM cenderung ke arah penekanan pada hak kelompok/hak kolektif).
2. Universal: dimiliki oleh setiap orang lepas dari suku, ras, agama, negara, dan jenis kelamin yg dimiliki seseorang.
3. Supralegal: tidak tergantung pada negara, pemerintah, atau undang-undang yang mengatur hak-hak ini.
4. Kodrati: HAM bersumber dari kodrat manusia.
5. Kesamaan derajat: kesamaan sebagai ciptaan Tuhan maka harkat dan martabat manusia pun sama

B. UUD 1945 DAN PERUBAHAN
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat Nanti kata Soekarno, jika keadaan telah memungkinkan, kita akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pemahaman dan penafsiran terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas, didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis. Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat, Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak. Sayangnya pemilihan umum 1 Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

1. PENCANTUMAN 10 PASAL HAM PADA PERUBAHAN UUD 1945.
Pertama, seperti juga secara sekilas telah dikemukakan bahwa pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Sebenarnya, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.

Kedua; Terjadi perdebatan panjang mengenai adanya kecurigaan dari sebagian anggota MPR bahkan sebagian anggota masyarakat kita bahwa konsep HAM yang bersumber dari barat, tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip koletivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena HAM yang berasal dari barat mengandung nilai-nilai kebebasan yang berdasarkan individualisme. Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
- Untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan
- Untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur adalah undang-undang pengadilan HAM.

Ketiga; Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.

Keempat; Pasal-pasal lainnya mengenai HAM disetujui dengan tanpa perdebatan yang lama dan termasuk pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang disetujui dengan mulus dibanding dengan perubahan pasal yang lainnya. Hanya ketiga soal itulah yang menjadi perdebatan panjang atas sepuluh pasal mengenai HAM ini di MPR pada saat itu. Selanjutnya bahwa ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah .

2. Bidang Legislasi
Terkait dengan implementasi HAM, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan yaitu:

Pertama; berkaitan dengan proses dan kedua berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.
Kedua; sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945 .
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM .
Langkah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai HAM. Penerimaan konvensi atau perjanjian internasional lainnya dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang menimbulkan masalah dalam implementasi karena tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika proses penerimaan nilai-nilai HAM itu melalui proses internalisasi pada saat pembentukan undang-undang terkait. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen terkait dengan kepentingan nasional yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
Demikian juga pandangan agar dilakukan penyelidikan dan pengkajian secara khusus terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang tidak sejalan dengan HAM, menurut saya tidaklah mendesak. Karena pengujian dan peninjauan terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya akan hidup dengan sendirinya dan terus menerus dilakukan oleh masyarakat sipil melalui mekanisme pengujian undang-undang. Disini pulalah peranan KOMNAS HAM sangat diharapkan untuk mengkaji perundang-perundangan yang tidak sejalan dengan HAM itu untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan. Jadi proses legislasi sekarang ini tidak lagi monopoli DPR dan Pemerintah (khususnya untuk menyatakan tidak berlakunya satu atau bagian dari satu undang-undang), tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi
Sebagian besar permohonan pengujian terhadap undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi hingga sekarang ini didasarkan pada ketentuan pasal-pasal HAM itu. Karena itu, dalam setiap pembentukan undang-undang pemerintah dan DPR harus memperhatikan dengan seksama ketentuan-ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak menimbulkan masalah yang komplek ketika jika Mahkmah Konstitusi menyatakan tidak berlakuanya suatu undang-undang karena bertentangan dengan konstitusi .

3. Masalah Implementasi
Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas dilakukan yang melanggar hak-hak sosial ekonomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah . Disinilah peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas masalah yang dihadapi.

4.Pendapat Pakar Tentang Penyelasaian Pelanggaran HAM Berat Dalam Konteks Peradilan.
Menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, bahwa peradilan terhadap pelanggaran HAM berat harus berdasarkan keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang ini pelanggaran HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas huku pidana internasional yang dapat menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan suka atau tidak suka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika sebuah perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita harus bekerja secara professional dan tidak memutuskan perkara-perkara tersebut dengan pertimbangan politik dan kompromi serta impunity.
Walaupun demikian, dengan adanya undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang kita miliki, penyelesaian perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus dengan proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. Kita juga perlu mempertimbangan penyelesaian non-ajudikasi dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan nasional dan keseimbangan (equalibrum).
Dan menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, bahwa DPR tidak dapat melakukan interpretasi politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut prinsip hukum, suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip pemberlakuan surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Disinilah asal usul lahirnya Pasal 43 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan suatu kasus pelanggaran HAM berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan pengusulan ini kepada DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan melakukan interpretasi politik. Jadi menurut Prof. Dr. Yusril, pemebentukan undang-undang dengan sengaja memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak layak suatu pelanggaran HAM berat masa lalu diajukan ke pengadilan HAM .

C. Konsep HAM Versi Barat dan Islam
1. HAM menurut Konsep Barat
Para penulis Eropa menganggap bahwa konsep Hak-hak Asasi Manusia (HAM) pertama kali ditemukan oleh seorang filsuf Yunani yang bernama Zeno. Lalu, melalui filsafat stoicism-nya konsep ini masuk ke dalam peradaban Romawi. Pada perkembangan selanjutnya, konsep ini juga mempengaruhi berbagai konstitusi yang ada di dunia ini, dan mencapai titik kulminasinya dengan lahirnya Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Padahal, pada awalnya deklarasi tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dengan para baron (penguasa) Inggris sebagai usaha perlindungan hak-hak istimewa mereka.
Pada 1215, lahir Magna Charta Libertatum di Inggris yang ditandatangani Raja John Lackland. Piagam itu berisi peraturan-peraturan yang melindungi rakyat dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Kemudian 1627, ketika terjadi konflik antara rakyat (parlemen) dan raja; rakyat (parlemen) mengajukan Petition of Rights, yang menegaskan kembali pembatasan kekuasaan dan wewenang raja.
Ketika pada 1688 meletus lagi konflik antara parlemen dan raja, timbul
Glorius Revolution. Revolusi itu ditandai dengan ditetapkannya Bill of Rights, yang kembali menegaskan hak-hak warga negara Inggris. Selanjutnya pada 4 Juli 1776, diumumkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang memuat pokok-pokok pikiran Thomas Jefferson tentang hak-hak manusia. Dalam deklarasi itu, banyak pasal yang dikutip langsung dari Bill of Rights Inggris. Seluruh isi dokumen itu kemudian dimasukkan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat.
Pada 1789, pecah revolusi Prancis yang menghasilkan Dewan Nasional atau Parlemen yang bertugas merumuskan konstitusi Prancis. Konstitusi itu selesai dirumuskan pada 1791, yang memuat penegasan hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de l'home et Citoyen). Belajar dari sejarah kemanusiaan yang kelam, sejak abad-abad yang silam sampai pecahnya Perang Dunia I dan II, pada 10 Desember 1948 PBB mengumumkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Dua tahun kemudian (1950), 10 Desember ditetapkan sebagai Hari Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
Dimasa revolusi, para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Perbuatan seseorang kadang muncul dari hati nurani yang harus dihormati, karena nurani yang benar akan mengikat secara absolut, beberapa pandangan yang dipengaruhi oleh nurani, pandangan sektarian orang-orang kristen abad pertengahan, Calvin menempatkan kebebasan nurani pada inti keberpihakan teologisnya.
Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi menjadi dua:
a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
3. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.

2. HAM Menurut Konsep Islam
Lebih dari 14 abad yang silam Islam telah meletakkan prinsip hak-hak asasi dan kemanusiaan yang mengagumkan. Dalam karier sejarah Islam itu, paling tidak ada tiga fakta yang dapat dikemukakan. Pertama, penyusunan Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun-tahun pertama Hijriah. MH Haekal menyebutnya sebagai dokumen politik yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda, dan larangan melakukan kejahatan.
Kedua, peristiwa khotbah Nabi Muhammad SAW pada waktu haji Wada' di bukit Arafah. Dalam khotbah haji perpisahannya yang sangat berkesan itu, tulis Fazlur Rahman, Nabi dengan resmi menyatakan prinsip-prinsip yang merupakan ringkasan perkembangan-perkembangan yang telah mendasari gerakan Islam dalam kemajuan yang senyatanya dan tujuan yang selama ini dikejarnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas (Islam, 1984).
Ketiga, Dokumen Aelia (Mitsaq Ailiya) yang dibuat oleh Khalifah Umar ibn al-Khaththab sebagai perjanjian dengan Patriak Sophronius. Menurut Cak Nur (1995), di dalam Dokumen Aelia termuat jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaannya. Bahkan di luar perjanjian itu, keberadaan kaum Yahudi juga mendapat jaminan di Yerusalem. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Masalah HAM dan kemanusiaan pada dasarnya merupakan sesuatu yang intrinsik dalam diri manusia secara universal. Dengan kata lain, seluruh umat manusia yang pada dasarnya bersaudara memiliki hak-hak asasi dan kewajiban kemanusiaan secara timbal balik, baik dalam skup kehidupan individual maupun dalam konteks sosial. Dengan demikian, prinsip persamaan, kesamaan, keadilan, toleransi, dan demokrasi adalah kata-kata kunci yang sangat penting.
Dalam perspektif Islam, masalah HAM dan kemanusiaan berkaitan erat dengan paham tentang fitrah manusia, potensi manusia yang suci dan hanif yang senantiasa cenderung kepada kebenaran dan kebajikan. Dalam pengertian Cyril Glasse, fitrah adalah norma primordial; suatu keserasian antara manusia, ciptaan, dan Tuhan. Dengan paham itu, sesungguhnya sebagai makhluk Tuhan, seluruh umat manusia mempunyai potensi untuk bersifat suci, bersih, baik, dan benar sehingga akan dapat memahami eksistensi dan fungsi kemanusiaannya (hak dan kewajiban secara harmonis) .
Dalam perspektif Islam, HAM dan kemanusiaan itu tidak bisa lepas dari nilai-nilai luhur agama. Karena itu, HAM ataupun ihwal kemanusiaan dalam perspektif Islam bukan hanya bersifat material dan imanen atau masalah duniawi belaka, melainkan juga bersifat spiritual dan transendental yang terkait dengan moralitas agama dan piwulang wahyu mengenai eksistensi manusia sebagai 'abdullah dan khalifatullah. Ketiga, masalah HAM dan kemanusiaan juga bertalian rapat dengan doktrin tauhid, yang hanya menuhankan Allah semata dan mengimani Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa .
Formulasi tauhid itu secara umum dikenal dengan kalimah thayyibah: laa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Formulasi kalimat itu berbentuk negasi dan afirmasi (nafy waitsbat), menegasikan dan meniadakan tuhan-tuhan lain (dengan "t'' kecil) yang palsu dan tak berdaya; kemudian meneguhkan dan mengakui bahwa hanya Allah-lah tuhan (dengan "T'' kapital) yang sejati dan mahakuasa. Doktrin tauhid tersebut juga berarti sebagai kalimat at-tahrir (kalimat pembebasan), yang membebaskan dan memerdekakan diri manusia dari perangkap dan belenggu tuhan-tuhan kecil tadi yang palsu dan nisbi dalam berbagai jenis dan manifestasinya, untuk mengarahkan pengabdian manusia hanya kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa.
Secara internal, hal itu bermakna self liberation. Pembebasan diri dengan doktrin tauhid itu, selanjutnya akan memberikan implikasi dan konsekuensi logis bagi terwujudnya social liberation, pembebasan tatanan sosial oleh manusia-manusia tauhid yang merdeka tadi dari berbagai bentuk tirani, eksploitasi, dan penindasan (secara struktural dan kultural).
Kemahakuasaan Tuhan mengakibatkan pembebasan manusia dari manusia. Dengan menyembah kepada Tuhan secara eksklusif, langsung tanpa perantara, akan tampak kebebasan seorang manusia dan terjaminlah martabatnya (Humanisme dalam Islam, 1980). Mempertimbangkan momen sejarah dan perspektif Islam tersebut, kesadaran dan manifestasi beragama harus makin kritis, terbuka, dan apresiatif. Dengan demikian, agama tidak lagi terpasung dalam bingkai ritus formal belaka yang individualistis. Namun agama bisa leluasa merambah wilayah-wilayah kemanusiaan yang luas dan menjadikannya lebih humanis, religius, dan civilized .
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim) . Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan."
D. Simpulan
Masih banyak yang harus dilakukan dalam rangka implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi ada keyakinan bahwa dengan perangkat yang disediakan oleh UUD penulis selalu optmis bahwa ke depannya impelementasi HAM di Indonesia akan terus lebih baik walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi dan situasi masyarakat. Disamping itu pula sungguhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar hak asasi manusia jauh sebelum deklarasi PBB tahun 1948, terbukti dengan dimulainya kebebasan dalam piagam Madina antara Rasulullah SAW dengan orang-orang kafir

Daftar Bacaan
Achmad, A. dan Saad, Hasballah M. (2002). Pelanggaran HAM Berat : Indikasi, Ciri-ciri dan Solusi Penyelesaian Secara Konseptual. Bandung : PIPS-PPS UPI Bandung.
Djamil, Ismail Muhammad. (1950). Sedjarah Islam. Jakarta : Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakjat.
Hussain, Syekh Syaukat. (1996). Human Rights in Islam. New Delhi : Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan 1784.
Maududi, A.A. (1978). Human Righst in Islam. New Delhi.
Setiardja. A. G. (1993). Hak-hak Asasi Manusia berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Solidamor. (2001). Kumpulan Materi Pelatihan HAM untuk Guru SLTP & SLTA. Jakarta : Solidamor.
Winataputra, U.S. (2002). Pendidikan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia sebagai Wahana Demokratisasi : Perspektif Metodologi. [Online]. Tersedia : http://202.159.18.43/jp/21winataputra.htm. [17 Agustus 2002].
Hadits Shohih : H.R. Bukhori dan H.R. Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar